Ponco terdiam. Ia merasakan tensi antara mereka, ketegangan yang begitu tajam---antara keputusasaan dan harapan.
"Tapi, Kak, kadang aku merasa capek... seperti gak ada perubahan. Kenapa kita selalu harus jadi contoh, sementara yang lain terus menerus salah?"
Silo menatapnya dengan lembut, tetapi kata-katanya sangat dalam.
"Ponco, itu bukan soal mengubah orang lain. Itu soal mengubah diri kita sendiri dulu. Pancasila itu hidup dalam tindakan kita, bukan hanya di buku atau pidato. Kalau kamu ingin jadi bagian dari Indonesia yang paripurna, kamu harus mulai dari diri sendiri. Gak ada yang gampang. Tapi kita bisa memulai dari hal-hal kecil."
Ponco menunduk, perasaan berat seakan mencengkram dadanya. Dalam keheningan malam itu, ia merenung. Akhirnya, ia berkata dengan suara pelan,
"Jadi, aku gak bisa hanya nyalahin orang lain, ya? Aku harus mulai dari diri sendiri."
Silo tersenyum.
"Betul, Ponco. Jangan hanya berbicara tentang Pancasila. Jadikan itu panduan hidupmu."
Ponco menatap Silo dengan penuh rasa terima kasih. Ada sesuatu yang mulai pudar dalam hatinya---rasa pesimis yang sudah lama menggerogoti. Mungkin, Pancasila memang lebih dari sekadar teori. Itu adalah panduan untuk hidup, dan mungkin inilah saatnya untuk memulai.
Di luar, hujan mulai reda, membawa angin segar yang menenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H