OLEH: Khoeri Abdul Muid
Ponco dan Silo duduk di warung kopi kecil di sudut kota, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Hujan rintik-rintik menyisakan hawa dingin yang menusuk, dan perasaan yang membebani pikiran Ponco. Ia mengaduk kopinya dengan gusar, matanya tajam menatap langit malam yang gelap.
Ponco membuka pembicaraan dengan suara lebih berat dari biasanya.
"Kak Silo, aku mau tanya, kenapa kita sering ngomongin Pancasila? Apa iya itu masih relevan dengan keadaan kita sekarang?"
Silo menatap Ponco dengan tatapan serius. Silo, yang selama ini dikenal tenang dan bijak, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar pertanyaan biasa.
"Kenapa kamu tanya begitu, Ponco?"
Ponco mendesah panjang, meletakkan cangkir kopinya, lalu melanjutkan dengan suara yang mulai penuh kekesalan.
"Aku sering lihat di sekitar kita, Kak. Banyak yang bilang Pancasila itu jadi simbol yang cuma dijadikan pajangan, tapi gak dipraktikin. Bahkan banyak pejabat yang ngomong Pancasila, tapi nyatanya korupsi merajalela. Gimana bisa kita percaya kalau Pancasila itu masih relevan buat kita, kalau yang diterapin malah kebalikannya?"
Silo terdiam, namun matanya semakin tajam, seperti hendak menembus Pikiran Ponco. Ia tahu ini bukan sekadar diskusi ringan.
"Kamu kecewa, Ponco?"
"Kecewa? Jelas! Aku liat banyak orang yang bilang 'Bhinneka Tunggal Ika', tapi kenyataannya kita masih sering berperang soal agama, suku, dan politik. Bahkan, aku sendiri sering dipandang sebelah mata hanya karena aku kerja di Satpol PP!"
Silo menarik napas panjang, tampak berpikir sejenak. Hujan semakin deras, suara gemericiknya menambah kesan tegang di antara mereka.
"Ponco, kamu benar. Pancasila memang bukan sekadar kata-kata indah di atas kertas. Tapi kamu gak bisa menilai semua orang atau seluruh bangsa dari segelintir orang yang salah paham atau menyalahgunakan kekuasaannya. Pancasila itu hidup dalam diri kita. Mungkin kita belum sempurna, tapi jangan sampai kita kehilangan harapan karena kesalahan yang dilakukan sebagian orang."
Ponco membentak, agak terkejut dengan ketegasan Silo.
"Jadi, apa kita harus diam aja dan menerima semuanya begitu saja? Apa kita harus terus-terusan menutup mata terhadap yang salah hanya karena ada orang yang masih pegang prinsip baik?"
Silo menatap Ponco dengan tegas, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih dalam.
"Kita gak bisa gontok-gontokan hanya karena sebagian orang gagal memahami Pancasila. Tugas kita adalah menerapkan nilai-nilai itu dalam hidup kita, meski di tengah keadaan yang gak sempurna. Kita bukan hanya mengkritik, Ponco, tapi kita juga harus jadi contoh."