OLEH: Khoeri Abdul Muid
Sore itu, awan kelabu menggantung rendah di langit Malang, menandakan hujan sebentar lagi. Malang di sore hari memang punya pesona tersendiri. Meski hari itu ada yang kurang: Jeng Rara. Biasanya dia yang selalu punya cerita paling seru dan bisa meramaikan suasana, tapi hari ini hanya ada aku dan Fikri.
"Udah lama banget kita nggak ngumpul gini, ya?" kataku sambil melangkah di trotoar, menuju resto yang katanya baru buka di kawasan Ijen.
"Iya, lama banget. Tapi, nggak ada Rara, tuh. Rasanya kayak ada yang hilang," jawab Fikri sambil tertawa kecil. "Tapi nggak apa-apa, ini juga cukup lah. Lo nggak bakal teriak-teriak kayak dulu, kan?"
Aku senyum-senyum sendiri. "Betawi banget, ya. Eh, ngomong-ngomong soal Betawi, resto ini unik. Sistem prasmanan kayak warteg, tapi rasa western. Aneh tapi enak."
Kami tiba di #GriyaWestern, sebuah resto baru yang lokasinya di pinggir jalan Ijen, Malang. Tempatnya sederhana, tapi atmosfernya asyik. Karbohidratnya beragam, dari nasi hingga mashed potatoes. Pilihan protein mulai dari ayam, sapi, hingga pasta, lengkap dengan berbagai saus. Favoritku tentu mushroom soup dengan saus black pepper. Kami memilih meja di pojok, menikmati sore yang mulai gelap.
"Lo tahu kan, harga per item nggak murah. Bisa nyampe 70 ribu juga," kata Fikri sambil memesan makanan.
"Apa sih, kalau udah FOMO, nggak peduli harga. Yang penting rasa," jawabku sambil bercanda. "Lo jangan salah, kita nggak bakal ketinggalan soal ini."
Namun tiba-tiba Fikri terdiam, matanya menatapku tajam. "Lo yakin, Gie? FOMO itu bukan cuma soal kuliner. Kadang hidup kita juga bisa jadi FOMO, terjebak dalam rutinitas, nggak sadar waktu berlalu gitu aja."
Aku terkejut. Apa maksudnya? Ada yang tak beres. Tapi sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, makanan kami datang. Spaghetti dan mushroom soup dengan saus hitam yang menggugah selera. Kami makan dengan tenang, namun ada yang mengganjal.
"Lo masih inget nggak waktu dulu? Waktu kita dulu selalu ngobrol tentang impian-impian yang nggak kesampaian?" Fikri kembali memecah keheningan. "Jangan bilang lo lupa itu semua."
Aku menunduk. Ternyata, itu yang dia maksud. Persahabatan kami yang dulu begitu dekat, kini terpisah oleh jalan hidup. Aku sibuk dengan pekerjaan, dia dengan karirnya yang mulai menanjak. Kami terjebak dalam rutinitas, tanpa sadar bahwa waktu menggerogoti kami.
"Tapi nggak apa-apa, kan? Kita di sini, sekarang. Momen ini yang penting," kataku, mencoba menenangkan diri sendiri.
Fikri tersenyum tipis. "Iya, Gie. Ini yang terpenting. Momen ini. Dan gue tahu lo nggak pernah lupa itu. Cuma kadang kita butuh kejutan untuk ingat lagi apa yang sebenarnya penting."
Aku menatapnya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang mempesona. Ternyata, bukan hanya makanan yang bisa membuat kita merasa kembali hidup, tapi juga momen kecil seperti ini. Sesuatu yang mengingatkan kami akan nilai persahabatan sejati, yang tak lekang oleh waktu.
Malam semakin larut, hujan semakin deras. Di luar, dunia terus berputar, namun kami tetap di sini, dalam percakapan sederhana yang mengingatkan kami tentang arti sejati dari persahabatan dan waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H