Ponco: Kalau begitu, kenapa akhirnya dipilih "Ketuhanan Yang Maha Esa"?
Silo: "Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah hasil kompromi. Frasa ini cukup inklusif, karena meskipun menunjuk pada kepercayaan kepada Tuhan, tetap menghormati keberagaman cara beragama. Artinya, setiap orang bebas menjalankan ajaran agamanya sesuai keyakinannya, tapi dengan tetap menjunjung persatuan bangsa.
Ponco: Kak, bukankah konsep ini unik? Nggak banyak negara yang punya dasar negara seperti ini.
Silo: Benar, Ponco. Konsep ini unik karena Indonesia tidak menjadi negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna menjelaskan bahwa konsep ini adalah jalan tengah, yang sering disebut teo-demokrasi. Artinya, negara menghormati prinsip ketuhanan sekaligus menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Ponco: Aku suka istilahnya, "teo-demokrasi". Tapi Kak, gimana penerapan sila ini di Indonesia?
Silo: Penerapannya ada dua aspek utama, Ponco:
- Aspek pribadi: Setiap individu memiliki kebebasan untuk beriman dan beribadah sesuai agamanya masing-masing.
- Aspek sosial: Negara harus memastikan kehidupan bersama yang harmonis, dengan mendorong toleransi, saling menghormati, dan keadilan antar umat beragama.
Ponco: Berarti ini soal keseimbangan, ya? Antara hak individu dan kepentingan bersama.
Silo: Tepat sekali. Tapi tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan ini di tengah perbedaan pandangan dan kepentingan. Misalnya, konflik antaragama atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Itu sebabnya, Yudi Latif menekankan pentingnya moral ketuhanan sebagai landasan etika bersama.
Ponco: Moral ketuhanan itu maksudnya apa, Kak?
Silo: Moral ketuhanan berarti nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama harus menjadi pedoman dalam kehidupan pribadi, sosial, dan bernegara. Ini bukan hanya soal menjalankan ritual agama, tapi bagaimana nilai-nilai ketuhanan diterapkan dalam perilaku sehari-hari.
Ponco: Oh, jadi bukan cuma formalitas, ya? Tapi harus benar-benar diterapkan dalam kehidupan.