OLEH: Khoeri Abdul Muid
Hingga detik terakhir, aku tidak pernah menyangka bahwa semuanya akan berakhir seperti ini.
"Pak, saya mohon. Ini salah paham. Saya... saya tidak mencuri...," suara Mila bergetar. Matanya basah menatap Pak Hadi, kepala sekolah, yang hanya menatap dingin. Di sekelilingnya, rekan-rekan kerja yang biasa menyapanya ramah kini memandang dengan penuh curiga.
"Bukti sudah jelas, Mila. Kami menemukan salinan soal ujian dan jawaban di laci mejamu. Itu pelanggaran serius. Apalagi jika terbukti kau menjualnya ke siswa," suara Pak Hadi datar, tapi menusuk seperti pisau.
Mila membeku. Jantungnya berdegup kencang. Laci itu---ia tahu pasti bukan ia yang menaruh dokumen itu di sana. Tapi siapa yang akan percaya? Air matanya mengalir, mencerminkan kepedihan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.
Di sudut ruangan, Rahmat berdiri dengan wajah tenang. Ia tidak menatap Mila, tapi ada senyum tipis di bibirnya---sekelebat kemenangan yang hanya ia rasakan sendiri.
Beberapa bulan sebelumnya, Mila memergoki Rahmat di ruang guru. Pria itu sedang sibuk menggandakan beberapa dokumen.
"Mas Rahmat, itu soal ujian, kan?" tanya Mila dengan nada curiga.
Rahmat tersentak, tapi cepat menguasai dirinya. "Iya, tapi cuma buat bantu anak-anak. Mereka kan butuh belajar. Jangan lebay, Mil."
"Bantu? Dengan cara curang?" Mila melipat tangan di dada.
Rahmat mendekatinya, senyumnya melebar. "Mil, kau ini terlalu idealis. Hidup nggak bisa cuma pakai aturan, tahu? Aku cuma mau tambahan penghasilan. Anak-anakku butuh makan. Istriku sakit. Kau paham kan?"
Mila menatapnya penuh rasa iba, tapi ada kemarahan di hatinya. "Mas Rahmat, kita ini guru. Kalau kita melanggar, apa yang akan dicontoh murid-murid kita?"
Rahmat terkekeh sinis. "Terserah kau, Mil. Tapi kalau kau berani bicara ke siapa pun soal ini, aku pastikan kau yang kena."
Mila menggelengkan kepala, menahan amarah dan ketakutan. Ia tahu Rahmat punya koneksi kuat di sekolah ini. Ia hanyalah guru muda yang baru memulai karier.
Pagi itu, Mila mematut diri di depan cermin. Ia baru saja diterima sebagai guru tetap setelah bertahun-tahun menjadi tenaga honorer. Senyum penuh harap terpancar di wajahnya.
"Bu Mila, jadilah guru yang baik. Jangan lupa untuk selalu menjaga nama baik sekolah," pesan ibunya beberapa hari sebelumnya. Mila bertekad memegang prinsip itu. Ia ingin menjadi teladan bagi murid-muridnya, mengajarkan integritas dan kejujuran.
Namun, dunia kerja tidak seideal yang ia bayangkan. Banyak rekan yang bermain curang demi keuntungan pribadi. Ia berusaha tetap lurus, tapi menjadi jujur ternyata bukan hal yang mudah.
"Selama kau bersih, kau aman," pikir Mila. Tapi idealismenya itu hancur saat ia dihadapkan pada fitnah yang kejam.
Mila berjalan keluar dari gerbang sekolah untuk terakhir kalinya. Ia telah dinyatakan bersalah atas tuduhan mencuri dan menjual soal ujian. Semua impiannya runtuh dalam sekejap.
Rahmat berdiri di sudut gerbang, menatap punggung Mila dengan senyum puas. Kini ia bebas dari ancaman.
Namun, karma bekerja dalam senyap. Seminggu kemudian, Rahmat ditemukan pingsan di ruang guru, tangannya menggenggam selembar surat.
"Yang jahat akan dibalas jahat. Bayang-bayang dosa tak pernah bisa kau tinggalkan. Aku sudah mati, tapi kebenaran akan hidup."
Surat itu bukan milik Mila, melainkan tulisan anonim dari seseorang yang selama ini mengawasi Rahmat. Orang itu tahu semua rahasia kelam Rahmat, dan kini giliran Rahmat yang harus menghadapi ketakutan akan bayang-bayang kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H