Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baron Sekeber [09]: Bleber, Jiglong

30 November 2024   06:08 Diperbarui: 30 November 2024   12:43 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Bleber

"Adik Danur! Ayo cepat! Keburu terkejar Ayah Jayakusuma!" seru Sirwenda, cemas sambil menoleh ke belakang.
Danurwenda memperlambat larinya, napasnya tersengal-sengal. "Kakak, istirahat dulu di sini. Aku tidak kuat lagi."
"Tidak usah istirahat!" kata Sirwenda tegas sambil menarik tangan adiknya. "Ayoo, kita harus pergi sekarang!"

Dari kejauhan, terdengar suara berat Adipati Jayakusuma. "Sirwenda! Danurwenda! Nak, Ayah tidak akan menyakitimu. Ayah sayang kalian! Ayo, pulang ya, Cah Bagus."
"Tidak! Ayah Jayakusuma kejam!" balas Sirwenda dengan suara marah. "Bapak Sekeber kau bunuh, lalu Ibu Suli juga ikut mati. Aku tidak akan pulang!"

Ketika mereka sampai di sebuah perempatan, Sirwenda mencoba melompat melewati batu besar untuk melanjutkan pelariannya. Namun malang, kakinya tersandung, dan tubuhnya terjatuh ke jurang kecil. Sirwenda tewas seketika.
"Kakak Sirwenda!" jerit Danurwenda sambil berlutut di dekat jasad kakaknya. Tangisnya pecah. "Aku tidak mau kehilanganmu, Kakak. Aku tidak mau pulang!" Dengan hati penuh duka, Danurwenda bangkit dan berlari ke arah barat.

Jayakusuma akhirnya tiba di tempat Sirwenda jatuh. Ia memandang jasad putranya dengan wajah pilu. "Oh, Sirwenda, kenapa kau begitu keras kepala, Nak?" Jayakusuma meraih tubuh Sirwenda, memeluknya dengan erat. Air mata jatuh dari wajah sang adipati.
"Di tempat ini, Sirwenda melompat untuk melarikan diri. Tapi, ia malah terjatuh hingga menemui ajal. Esok hari, jika ada ramainya zaman, biarlah tempat ini disebut Bleber, untuk mengenang Sirwenda yang 'bleber' di sini," ucap Jayakusuma pelan.

Namun, ia segera teringat Danurwenda. "Danurwenda! Nak, tunggu Ayah!" Jayakusuma bergegas mengejar anak bungsunya.

Jiglong

"Tidak! Aku benci Ayah Jayakusuma! Aku tidak akan pernah pulang!" jerit Danurwenda sambil mempercepat larinya. Namun, Jayakusuma akhirnya berhasil mendahului dan mencegatnya.

"Nak Danurwenda, Cah Bagus. Ayah hanya ingin melindungimu. Jangan lari lagi, Nak. Mari kita pulang bersama," ucap Jayakusuma dengan nada lembut, mencoba menenangkan putranya.

"Aku tidak butuh perlindungan Ayah! Semua sudah tiada---Bapak, Ibu, dan Kakak Sirwenda! Aku tidak punya alasan untuk pulang!" balas Danurwenda dengan nada tajam, matanya penuh amarah.

Melihat dirinya terpojok, Danurwenda mencoba melompat ke arah samping. Namun, kakinya terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam. "Aduh!" teriaknya sebelum akhirnya tubuhnya terhempas ke dasar lubang. Danurwenda pun tewas.

Jayakusuma berlari ke arah jasad anak bungsunya. Ia terduduk, memeluk tubuh Danurwenda yang sudah tidak bernyawa. "Oh, Danurwenda, kenapa takdir ini begitu kejam? Kau terjatuh dan menemui ajalmu di sini. Biarlah tempat ini kelak dikenal sebagai Jiglong, untuk mengenangmu yang 'kejiglong' di sini."

Dua prajurit pengawal, Paman Parman dan Mas Kalicuk, akhirnya tiba di lokasi. Mereka terengah-engah setelah mengejar Jayakusuma dari belakang.
"Sendika, Kanjeng Adipati," ucap Paman Parman penuh hormat.
Jayakusuma menghela napas panjang, matanya sembap. Dengan bantuan para prajurit, ia mengurus jenazah kedua putranya.

Di sela-sela itu, Mas Kalicuk berbisik kepada Paman Parman. "Kasihan, ya, Kanjeng Adipati. Ia sudah kehilangan istri dan kedua anaknya. Tapi nanti bisa-bisa ia dituduh membunuh mereka, padahal niatnya hanya ingin menyelamatkan."
"Sudahlah, Cuk," balas Paman Parman pelan. "Semua ini adalah takdir. Bukankah segala amal itu tergantung niat? Dan hanya Tuhan yang tahu niat seseorang."

BERSAMBUNG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun