"Tuan, ini nasi, ini sambal tempe. Yang itu, jangan dimakan!" kata Wage sambil menunjuk sayur.
"Maaf, Wage. Apa maksudmu? Aku tidak boleh makan sayur dan udang goreng ini?" tanya Baron Sekeber, bingung.
Semua terdiam. Wage keliru menerjemahkan kata "jangan" (tidak boleh) dengan "jangan" (sayur). Kekeliruan ini memicu tawa kecil di antara mereka, meskipun Panggah terlihat kesal. Ia segera memperbaiki ucapan Wage.
"Begini yang benar, Wage: 'Ini nasi, sambal tempe, udang goreng, tahu goreng, dan sayurnya. Silakan dinikmati, Tuan.' Begitu!"
Namun, suasana damai berubah saat Sumar datang tergopoh-gopoh. "Celaka, Kang Panggah! Adipati Jayakusuma datang dengan prajuritnya!"
Benar saja, tidak lama kemudian, Adipati Jayakusuma muncul bersama para prajuritnya. Matanya tajam menatap Baron Sekeber.
"Mana Baron Sekeber?!" bentaknya.
Baron Sekeber berdiri dengan tenang, memasang senyum sombong. "Aku orangnya! Apa benar kau penguasa Pati?"
Jayakusuma mendengus. "Benar! Aku Adipati Jayakusuma, penguasa Kadipaten Pati. Siapa kau sebenarnya? Dari mana asalmu dan apa tujuanmu di sini?!"
Baron Sekeber mengangkat dagunya, bangga. "Aku adik Baron Sukmul, Raja Belanda, dan Baron Sekeder dari Inggris. Karena negeriku dijajah Spanyol, aku mengaku sebagai orang Spanyol. Tapi aku ke sini atas izin Panembahan Senapati!"
Jayakusuma terkejut. "Apa?! Atas perintah Panembahan Senapati?! Mustahil! Tidak masuk akal seorang penegak hukum melanggar hukum!"
Baron Sekeber menjelaskan panjang lebar bagaimana ia datang ke Tanah Jawa, bertemu Panembahan Senapati, dan diberikan izin tinggal sementara di Patiayam. Namun, Jayakusuma tetap tidak percaya.
"Penjajahan harus dihapuskan, Sekeber! Termasuk keberadaanmu di sini!" seru Jayakusuma.