Adi terdiam, tapi hanya sejenak. "Kau pantas mendapatkan ini! Karena ulahmu, aku kehilangan segalanya!"
"Adi..." Darto terbatuk lagi. "Aku memang salah. Tapi apakah kau tahu? Aku mengorbankan diriku untuk melindungi puluhan karyawan. Kebakaran itu bukan hanya karena korupsi. Aku dijadikan kambing hitam."
"Apa? Omong kosong!" Adi berteriak, menggenggam batu semakin erat.
Beberapa waktu sebelum kebakaran, Darto sebenarnya sudah tahu bahwa pabrik itu bermasalah. Ia memohon pada pemilik perusahaan agar memperbaiki instalasi listrik yang rusak, tapi permohonannya diabaikan. Ketika api akhirnya melahap pabrik, pemilik perusahaan menyalahkan Darto untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.
"Aku menerima semua tuduhan itu, Adi..." ucap Darto lirih. "Karena aku tahu, kalau aku melawan, anak-anak buahku akan lebih menderita. Aku membiarkan diriku terbakar lebih dulu, demi kalian semua..."
Kata-kata itu menggema di telinga Adi. Batu yang ia genggam jatuh ke tanah. Tiba-tiba, rasa panas menyengat menjalari telapak tangannya.
Ia melihat telapak tangannya yang memerah. Itu bukan luka fisik, tapi bara amarah yang selama ini ia genggam. Bara itu perlahan menghanguskan dirinya sendiri, mengaburkan pandangannya, dan menghancurkan logikanya.
Adi menatap Darto yang tergeletak tak berdaya di hadapannya. Tubuh pria tua itu tampak rapuh, berbeda dari sosok yang selama ini ia benci dalam pikirannya.
"Aku... aku yang seharusnya mendengarkan lebih dulu," bisik Adi, suaranya pecah.
Namun, sebelum Adi sempat berkata lebih banyak, sirene polisi memecah keheningan malam. Warga sekitar, yang mendengar keributan itu, telah memanggil aparat.
Adi ditangkap malam itu, sementara Darto dibawa ke rumah sakit.