OLEH: Khoeri Abdul Muid
Asap tipis mengepul dari cangkir teh yang mendingin di meja kayu. Sorot mata tua Ki Sancaka yang biasanya lembut kini tajam seperti belati. Di depannya, dua murid terbaiknya, Candra dan Tirta, saling bertatapan penuh ketegangan.
"Aku sudah menemukan jawabannya, Guru!" seru Candra tiba-tiba, memecah kesunyian.
Tirta mendengus, "Kau bicara soal jawaban? Kau bahkan tidak berusaha mencarinya."
Candra menatapnya dengan tatapan menyala, "Lebih baik tidak mencari daripada serakah seperti kau, Tirta. Kau temukan apa yang kau cari, tapi tak pernah kau gunakan!"
Ki Sancaka mengangkat tangannya, memotong perdebatan itu. "Tenang. Jelaskan masing-masing jawaban kalian."
Candra maju lebih dulu. "Guru, bukankah hidup itu lebih baik menikmati apa yang ada? Jika ada makanan, makanlah. Jika ada waktu luang, istirahatlah. Mengapa harus bersusah payah mencari sesuatu yang mungkin tidak kita butuhkan?"
Ki Sancaka menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah. Lalu kau, Tirta?"
Tirta berdiri tegak. "Guru, hidup adalah perjuangan. Aku mencari dan menemukan banyak hal, karena itulah bukti kerja keras dan kepandaianku. Tapi aku juga tahu, hasil jerih payah itu harus disimpan untuk hari-hari mendatang. Tidak semua yang kita miliki harus dipakai, bukan?"
Ki Sancaka tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan di baliknya. "Dan kau tidak merasa ada sesuatu yang salah?"
Tirta terdiam, bingung.