OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit seperti retak, asap hitam membumbung menutupi mentari. Di puncak reruntuhan istana, aku berdiri, terpaku. Tangan ini berlumur darah---darah musuh, kawan, saudara, atau mungkin diriku sendiri. Semua ini karena satu kata: aku.
Dari sela api yang melalap, aku melihat bayangan seorang gadis kecil. Suaranya parau, memanggilku, "Bapak, kenapa Bapak membunuh Ibu?"
Aku tergugu, tubuhku roboh ke tanah. Tangan mencakar lantai berdebu, gemetar. Api membakar tidak hanya istana ini, tapi juga hatiku. Namun terlambat. Tubuh kecil itu menghilang, lenyap ditelan nyala yang aku ciptakan sendiri.
"Apa kau sudah gila, Raja Darendra?!" teriak Daniswara, panglimaku yang setia. "Menyerang kerajaan tetangga hanya karena legenda pedang pusaka? Ribuan prajurit akan mati sia-sia!"
"Aku adalah Raja!" suaraku menggema, memukul dinding istana. "Aku menentukan benar atau salah! Pedang itu milikku, karena aku yang menginginkannya!"
Mata Daniswara menyala. Ia mendekat, jaraknya hanya sehelai rambut dariku. "Tuanku," katanya tajam, "kau lupa siapa dirimu. Raja yang dulu kuikuti adalah pemimpin bijaksana. Tapi kau kini hanya budak dari hasratmu sendiri."
"Tutup mulutmu!" gebrakan tanganku membuat gelas-gelas anggur terjatuh. "Aku tidak butuh pengkhianat seperti kau di sisiku!"
Daniswara terdiam. Wajahnya bergetar menahan sesuatu, entah amarah atau duka. Ia menatapku, lalu berbisik, "Ingat, Tuanku. Api yang kau nyalakan, kau sendiri yang akan terbakar."
"Kerajaan tetangga memanggilmu pengecut," kata Mahapatih Bhanu di aula megah yang terasa seperti ruang penghakiman. Ia tersenyum penuh racun. "Mereka bilang, Raja Darendra takut merebut kembali pusaka keluarga. Sebuah penghinaan yang akan hidup dalam sejarah."
Aku menatapnya. Kata-katanya adalah belati yang menusuk ambisiku.
"Jika Tuanku membalas, sejarah akan mengingat Anda sebagai pemimpin yang tak gentar," lanjutnya, suaranya seperti bisikan iblis.
Dalam sekejap, bara di dadaku berkobar. Aku melangkah maju. "Kumpulkan pasukan. Kita rebut kehormatan itu!"
Bhanu tersenyum tipis. Ia tahu, aku telah memakan umpannya.
Masa kecilku bukanlah dongeng indah. Sebagai anak dari selir, aku adalah bayang-bayang yang disingkirkan ke sudut gelap istana. Tidak ada yang memanggilku pangeran, hanya "anak selir yang tak berguna."
Ketika kakakku, sang pewaris takhta, terbunuh dalam perang, aku melihat kesempatan. Dengan tipu daya dan kelicikan, aku merebut takhta. Tapi ternyata, kekuasaan hanya pembuka dari hasrat yang lebih besar.
Setelah takhta, aku ingin wilayah. Setelah wilayah, aku ingin kekayaan. Setelah kekayaan, aku ingin nama yang dikenang sebagai penguasa terbesar. Aku lupa bahwa ambisi adalah lubang tak berdasar.
Aku ingat suatu ketika, aku bertanya pada ibuku, "Mengapa orang-orang saling membunuh, Ibu?"
Ia memandangku dengan mata yang redup namun dalam. "Karena mereka selalu berkata: 'aku'."
Saat itu, aku tidak mengerti. Aku hanya tahu aku tidak ingin menjadi 'bukan siapa-siapa'.
Namun kini, di tengah kobaran api yang memusnahkan segalanya, aku akhirnya paham. Kata sederhana itu---'aku'---telah membakar tidak hanya musuh-musuhku, tetapi juga keluargaku, kerajaanku, bahkan jiwaku.
Langit di atas mulai runtuh. Aku terhuyung, menatap kehancuran yang menjadi warisanku.
"Langit retak tak memedulikan kejatuhanku. 'Aku' hanyalah api kecil yang membakar dirinya sendiri, tapi dunia menanggung abunya. Kini aku tahu, kehancuran adalah warisan sejati dari ahangkara ini."
Tubuhku roboh. Tidak ada yang tersisa. Tidak juga aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H