OLEH: Khoeri Abdul Muid
Anglingdarma, sang pemuda perkasa, berdiri tegak di hadapan Dewi Ambarawati, wanita yang telah sah menjadi istrinya. Hatinya diliputi keraguan yang mendalam. Perjalanan besar yang menanti di depan memaksanya untuk berpisah, meski dengan berat hati.
"Dewi Ambarawati, aku harus pergi," kata Anglingdarma dengan suara yang penuh ketegasan namun tersirat kesedihan.
Dewi Ambarawati menatapnya dengan mata yang penuh harap, namun ada kecemasan yang melingkupi wajahnya. "Mengapa engkau harus pergi, Anglingdarma? Tidakkah engkau merasa berat meninggalkan aku?"
Dengan perlahan, Anglingdarma menghela napas. "Ini bukanlah pilihan yang mudah, tetapi aku harus melanjutkan perjalanan ini. Ada tugas yang lebih besar menantiku."
Dewi Ambarawati merasa hatinya hancur. Namun, dengan perasaan yang penuh, ia tertidur. Mungkin karena lelah menangis atau terlarut dalam kerisauan yang tak terkatakan.
Saat ia terbangun, sekelilingnya terasa hampa. Anglingdarma telah pergi, meninggalkan dirinya yang kini hanya dikelilingi kesepian. Tangisan Dewi Ambarawati pecah. Sungguh, ia merasa dunia ini begitu sunyi tanpa kehadiran suaminya.
Namun, tidak lama kemudian, Adipati Darmawasesa bersama istrinya datang untuk memberikan penghiburan. Mereka duduk di samping Dewi Ambarawati, berbicara dengan lembut. Walaupun hatinya masih dipenuhi kesedihan, ada rasa sedikit lega yang muncul dalam dirinya.
Tiba-tiba, seorang pria muncul di hadapan mereka. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Anglingkusuma. "Ada kabar penting yang harus kau dengar, Dewi Ambarawati," ujarnya, suara tegas dan serius. "Perjalanan ini belum berakhir."
Anglingdarma melangkah perlahan, masih dipenuhi kebingungan. Bersama Batik Madrim, ia tersesat di sebuah jalan yang asing, tak tahu arah. Tiba-tiba, mereka bertemu dengan seorang nenek yang tampaknya sudah sangat tua. Wajahnya tampak bijak, namun matanya kosong. Ketika mereka bertanya tentang lokasi mereka, nenek itu tidak memberikan jawaban, hanya diam.
Ternyata nenek itu adalah seorang budheg, yang telah lama kehilangan pendengaran. Namun, Anglingdarma, yang selalu memiliki rasa empati, memutuskan untuk memberi perhatian lebih. Setelah beberapa saat, nenek itu membuka mulut dan dengan suara pelan berkata, "Kertanegara... itu tempatmu."