OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit sore itu memerah seperti luka terbuka. Di taman kota yang sepi, Anindya duduk sendiri, menggenggam buku catatan lusuh dengan nama Raya tergores di sampulnya. Tangannya gemetar, tapi matanya kosong. Bayangan malam itu kembali---jeritan rem, kaca yang pecah, dan suara terakhir Raya memanggil namanya.
"Masih di sini, Nin?" Suara berat memecah lamunannya.
Anindya mendongak. Fajar berdiri di depannya, wajah tenang dengan senyuman kecil. Jaket kulitnya tampak terlalu usang untuk seorang yang begitu kukuh.
"Aku... hanya butuh waktu," jawab Anindya pelan.
"Berapa lama lagi, Nin? Tiga bulan? Tiga tahun? Kau tahu, waktu tak menunggu."
"Tapi aku tidak bisa melupakannya!" Anindya menatap tajam, suaranya pecah. "Aku membiarkannya mati, Jar. Aku memilih diriku sendiri."
Fajar duduk di sebelahnya, mengeluarkan rokok, lalu menyalakannya dengan tenang. "Kau tidak memilih. Kau hanya hidup. Kadang hidup itu kejam, tapi itu bukan salahmu."
"Aku seharusnya mati bersamanya," bisik Anindya.
"Omong kosong!" bentak Fajar. Asap rokoknya berputar di udara, membentuk lingkaran yang perlahan hilang. "Raya memilih untuk menyelamatkanmu. Apa kau akan menghina pengorbanannya dengan terus menyiksa dirimu sendiri?"
Mata Anindya mulai memanas. Ia ingin membalas, tapi kata-katanya tercekat.