Damar ragu sejenak. Ia bisa saja mengabaikan pemuda itu, melanjutkan langkahnya tanpa merasa bersalah. Tetapi entah mengapa, hatinya berkata lain.
"Ini... ambil ini," Damar mengeluarkan dompetnya dan memberi uang yang cukup banyak pada pemuda itu.
Pemuda itu menatapnya, terkejut. "Kenapa... bapak memberikan uang sebanyak ini?" tanyanya penuh heran.
Damar tersenyum lelah. "Karena aku ingin menebus kesalahan-kesalahan yang tak bisa aku perbaiki. Mungkin ini kecil, tapi semoga bisa sedikit membantu."
Pemuda itu tersenyum, menerima uang itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Bapak. Semoga hidup Bapak menjadi lebih baik."
Damar melangkah pergi dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sedikit lebih baik, namun ada suara dalam dirinya yang tak bisa diam. "Apa yang sebenarnya aku cari?" pikirnya.
Hari-hari berlalu, Damar mulai merasa kebajikan yang ia lakukan tak memberikan rasa lega yang ia harapkan. Setiap kali ia memberi, ia merasa hatinya kosong. Semua yang ia lakukan tidak cukup untuk menebus masa lalunya. Setiap kali ia berbuat baik, ia hanya semakin ingat betapa buruknya dirinya di masa lalu.
Kemudian, suatu sore, ia bertemu dengan Kania. Mereka berdiri di depan rumah lama mereka. Wajah Kania tak banyak berubah, meski ada gurat-gurat keletihan di matanya.
"Kania..." Damar mengangkat tangannya, tapi suara itu terhenti di tenggorokannya.
"Jangan bicara apa-apa, Damar. Kamu sudah terlambat," Kania berkata dengan dingin, namun matanya menyiratkan luka yang dalam.
Damar terdiam. Ia sudah mempersiapkan diri untuk meminta maaf, untuk mengatakan semua hal yang harusnya ia katakan bertahun-tahun lalu. Namun, kenyataannya berbeda. Kania sudah melangkah jauh lebih dulu, meninggalkan dirinya di dunia yang tak lagi bisa ia ubah.