Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benih yang Tumbuh

27 November 2024   08:48 Diperbarui: 27 November 2024   08:54 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Di sebuah kota kecil, pemilihan kepala daerah sedang mendekati puncaknya. Suasana begitu tegang. Dua kandidat bersaing sengit, masing-masing membawa janji besar. Di tengah persaingan itu, Pak Ari, kandidat dengan reputasi bersih, dihadapkan pada dilema besar.

"Pak Ari, kalau kita terus begini, habislah kita!" Suara Bu Ningsih, manajer tim sukses, terdengar tegas. Ia melemparkan laporan hasil survei ke meja. "Lawan sudah bermain amplop di semua titik. Kita? Hanya janji moral dan program panjang. Tidak cukup, Pak!"

Pak Ari, mengenakan batik sederhana, tetap tenang. "Ningsih, kalau kita ikut-ikutan, apa bedanya kita dengan mereka?"

"Pak, ini bukan soal beda atau sama! Ini soal menang atau kalah!" Ningsih mendekat, menatapnya tajam. "Bapak tahu sendiri, kalau kalah, program perubahan Bapak hanya akan jadi mimpi. Rakyat butuh aksi, bukan idealisme kosong!"

Pak Ari tersenyum tipis, lalu memandang ke arah Riko, putra sulungnya, yang sejak tadi diam di sudut ruangan. "Riko, menurutmu bagaimana?"

Riko berdiri, menatap ayahnya dengan wajah yang penuh konflik. "Ayah, aku menghormati prinsip Ayah. Tapi... Bu Ningsih benar. Apa gunanya kebenaran kalau tidak pernah sampai ke tangan rakyat?"

Pak Ari terdiam. Kata-kata Riko menusuk hatinya. Ia tahu Riko bukan sekadar anak muda idealis; ia adalah cerminan kekhawatiran rakyat yang sebenarnya.

"Tapi kalau aku menang dengan cara kotor, Riko," kata Pak Ari akhirnya, suaranya lirih tapi tegas, "apa yang akan kupelajari darinya? Bahwa tujuan bisa menghalalkan cara?"

Riko menghela napas, lalu melangkah keluar ruangan. Di balik pintu, ia mengepalkan tangan, matanya berkilat penuh frustrasi.

Hari pemilu tiba. TPS di seluruh kota dipenuhi warga yang antusias, meski aroma politik uang terasa di mana-mana. Pak Ari tetap tenang, percaya pada kejujuran perjuangannya.

Namun, di salah satu TPS, seorang pria tua bernama Pak Jaka kebingungan. Ia memandangi kertas suara di tangannya sambil mengingat amplop berisi uang yang diterima pagi tadi dari tim lawan.

"Sudah tua begini, untuk apa repot-repot mikir moral?" gumamnya sambil melangkah menuju kotak suara.

Tiba-tiba, suara bocah kecil menghentikannya. "Kakek, pilih yang jujur ya. Kata ibu, orang jujur itu bikin kita nggak malu sama Tuhan."

Pak Jaka tertegun. Bocah itu tidak tahu betapa dalam ucapannya menghantam hati. Dengan tangan bergetar, ia membuka kembali kertas suara, lalu melingkari nama Pak Ari.

Malam itu, hasil pemilu diumumkan. Pak Ari kalah tipis.

Di ruang tamunya, keluarga Pak Ari berkumpul dalam keheningan. Wajah Riko tampak muram, sementara Pak Ari terlihat tenang, meski lelah.

"Maaf, Ayah," kata Riko akhirnya. "Aku salah. Ayah benar, apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai."

Pak Ari menepuk bahu putranya. "Kita kalah angka, Nak. Tapi kita menang harga diri. Itu yang lebih penting."

Tiba-tiba, Bu Ningsih masuk dengan wajah panik. "Pak, berita besar! Lawan kita ditangkap KPK. Mereka ketahuan menyuap panitia pemilu!"

Semua orang tercengang.

Pak Ari hanya tersenyum kecil, lalu berdiri dan melangkah ke kamar kerjanya. Di sana, ia membuka laci meja dan mengambil secarik kertas. Surat pengunduran diri dari dunia politik.

"Aku sudah cukup," gumamnya. "Menabur benih kebaikan tidak harus di panggung kekuasaan."

Ia menatap bulan di langit, merasa lega. Kadang, kemenangan sejati adalah berjalan menjauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun