Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi di Setiap Badai

27 November 2024   05:33 Diperbarui: 27 November 2024   08:45 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Lila duduk di pinggir jalan desa, menatap langit yang mendung. Angin menggulung dedaunan, membawa hujan yang semakin deras. Hari itu, seperti hari-hari lainnya, tidak ada yang istimewa. Kecuali, kali ini, ayahnya, Pak Rauf, akan kembali dari pasar dan Lila tahu apa yang akan terjadi.

Sejak kecil, Lila selalu merasa ada jarak antara dirinya dan ayahnya. Pak Rauf, seorang petani yang keras, tidak pernah mengerti impian Lila untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Bagi Pak Rauf, pendidikan adalah milik orang kaya, dan untuk orang seperti mereka, bertani adalah segalanya.

"Lila!" Suara Pak Rauf terdengar dari kejauhan. Langkah kaki beratnya di tanah berlumpur membawa pesan yang sudah dikenalnya. Lila menunduk, menarik napas panjang.

Pak Rauf berdiri di depan pintu, wajahnya tegang. "Lila, aku tidak mau mendengar lagi tentang cita-citamu. Itu hanya mimpi kosong!" Suaranya kasar, tapi ada kecemasan yang samar-samar tersirat.

Lila menatap matanya, berusaha menahan air mata. "Ayah, aku ingin belajar lebih banyak. Aku ingin membawa perubahan. Jangan batasi aku hanya karena aku anak petani."

"Perubahan? Hah!" Pak Rauf tertawa sinis. "Jangan bermimpi. Kehidupan ini sudah cukup keras tanpa perlu melamun tentang hal-hal yang tidak ada gunanya. Cita-cita itu untuk orang-orang yang punya kesempatan, bukan untuk kita."

Lila terdiam. Air mata yang tadi ditahannya kini jatuh begitu saja. Tapi Lila tidak menyerah. "Ayah, aku tidak ingin hidup seperti ini selamanya. Aku ingin lebih dari sekadar bertani. Aku ingin mengubah hidup kita."

Pak Rauf mengalihkan pandangannya. Ia tidak bisa melihat anak perempuannya terluka. Namun, hatinya terlalu keras untuk bisa mengakui keinginannya. "Kamu hanya akan mengecewakan dirimu sendiri. Tidak ada yang bisa mengubah nasib kita."

Lila menundukkan kepala. Ia tahu, ayahnya terlalu takut untuk melihat kenyataan bahwa dunia bisa memberi peluang lebih banyak, bahkan untuk mereka yang berasal dari desa.

Hari berlalu, dan Lila terus berjuang dengan tekad yang semakin menguat. Ia menyimpan impian itu di dalam hatinya, meskipun ayahnya tidak pernah mendukungnya. Namun, di balik kecamannya, Lila merasakan kasih sayang yang dalam dari Pak Rauf. Ia hanya takut kehilangan putrinya, takut jika Lila terjatuh dan terluka di luar sana.

Beberapa minggu kemudian, Lila mendaftar di sebuah universitas di kota. Ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, dan dengan hati-hati, ia mengungkapkannya kepada ayahnya.

"Ayah, aku diterima di universitas! Aku bisa belajar di kota!" Lila tidak sabar untuk melihat reaksi Pak Rauf.

Pak Rauf terdiam lama. Matanya menatap jauh ke luar jendela. Hujan yang turun sudah reda, dan langit tampak cerah. "Aku sudah bilang, itu hanya mimpi, Lila." Suara Pak Rauf terputus, namun kali ini, ada kepedihan yang lebih dalam.

Lila menunduk. Ia tahu bahwa impian ini adalah pertarungan besar yang tidak mudah dimenangkan. Namun, ia tidak bisa berhenti.

"Lila," Pak Rauf akhirnya berkata pelan, "jangan pergi... Aku takut kamu akan terluka. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Air mata Lila kembali jatuh. Ia mendekat dan memegang tangan ayahnya, tangannya yang sudah keriput oleh kerja keras. "Ayah, aku akan kembali. Aku janji. Aku tidak akan melupakan kalian."

Pak Rauf menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Lila. Tapi... aku tidak tahu apakah dunia luar itu baik untukmu."

Tahun-tahun berlalu. Lila sukses menyelesaikan pendidikannya, meskipun tidak mudah. Ia bekerja keras, mengorbankan banyak hal untuk mencapai mimpinya. Di sisi lain, Pak Rauf tetap di desa, menjaga sawah dan hidup dengan rutinitas yang sama. Meski diam-diam, ia bangga pada putrinya, tetapi rasa takut dan cemas tetap membelenggu hatinya.

Suatu hari, Lila kembali ke desa setelah lulus. Ia membawa kabar baik: Ia mendapatkan pekerjaan di sebuah lembaga yang membantu petani di daerahnya. Ia ingin mengubah kehidupan mereka dengan ilmu yang ia peroleh.

Namun, hari itu, hujan deras kembali turun, lebih deras dari sebelumnya. Ketika Lila berjalan pulang, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan. Ia berlari pulang dengan napas terengah-engah.

Pak Rauf melihat Lila dengan cemas. "Lila, ada apa?"

Lila terjatuh di depan pintu rumah mereka. "Ayah... aku..." Kata-kata itu terhenti ketika matanya menutup.

Pak Rauf panik, mencoba membangunkan Lila. "Lila! Bangun! Jangan tinggalkan aku!" Ia menangis, pertama kali dalam hidupnya, benar-benar menangis.

Lila meninggal akibat komplikasi penyakit yang selama ini ia sembunyikan. Pak Rauf merasa seperti seluruh dunia runtuh. Namun, di saat-saat terakhir itu, Lila sempat memberikan sebuah pesan yang sangat berarti.

"Ayah... percayalah... tidak ada yang sia-sia. Aku telah melakukannya bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk kita semua."

Pak Rauf duduk di samping tubuh Lila yang terbaring kaku. Hujan di luar semakin reda. Pelangi mulai muncul di cakrawala.

Pak Rauf menatap langit, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengerti arti kata-kata Lila. Semua yang ia tabur selama ini, takut dan cemas, akhirnya berbuah... kesadaran. Meskipun terlambat, ia tahu bahwa dunia ini tidak hanya untuk mereka yang tak pernah berani bermimpi, tetapi juga untuk mereka yang berani mengejarnya.

Dan pada akhirnya, meskipun badai datang dan pergi, selalu ada pelangi setelahnya. Tuhan memberi pelangi di setiap badai, senyum di setiap air mata, berkah di setiap cobaan, dan jawaban di setiap doa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun