OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah negeri yang pernah dijuluki "permata dunia," berdiri gedung-gedung megah yang menjulang tinggi. Namun di balik kilauan itu, ada kegelapan yang mencengkeram, perlahan menghancurkan setiap sendi kehidupan rakyat.
Aditya, seorang jurnalis muda, menatap layar laptopnya. Artikel berjudul "Korupsi, Hancurkan Negeri!" hampir selesai ia tulis. Laporan ini adalah hasil investigasinya selama enam bulan, mengungkap kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negeri itu.
Tiba-tiba, suara pintu diketuk. Raka, sahabatnya sekaligus editor senior di tempatnya bekerja, muncul dengan wajah tegang. "Aditya, kau yakin ingin menerbitkan ini? Mereka bukan orang sembarangan. Hidupmu bisa berakhir di penjara... atau lebih buruk."
Aditya menatap sahabatnya, matanya penuh tekad. "Aku tidak peduli. Korupsi ini merampas lebih dari sekadar uang rakyat. Ini menghancurkan kehidupan mereka. Diam berarti aku bagian dari mereka, Raka. Aku tidak bisa!"
Aditya menemukan fakta mengerikan tentang pembangunan jembatan penghubung antarprovinsi yang runtuh hanya tiga bulan setelah selesai. Dana proyek dipangkas lebih dari separuh oleh pejabat korup, dan bahan bangunan diganti dengan kualitas murahan. Namun, ini hanya puncak gunung es.
Dalam penelitiannya, Aditya bertemu Ibu Lestari, seorang petani yang tanahnya rusak akibat limbah pabrik ilegal yang mendapat izin dari pejabat setempat. "Mereka bilang ini demi kemajuan," kata Ibu Lestari dengan air mata menggenang. "Tapi apa gunanya kemajuan kalau kami tidak bisa menanam lagi? Kami hanya ingin hidup sederhana, tapi mereka merampas semuanya."
Kata-kata Ibu Lestari membakar semangat Aditya. Ia tahu perjuangan ini bukan hanya soal data dan dokumen, melainkan tentang wajah-wajah lelah rakyat kecil yang terus ditindas.
Malam itu, Aditya bertemu Bayu, seorang mantan pegawai pemerintah yang membawa dokumen rahasia. Bayu menyerahkan sebuah amplop tebal. "Hati-hati, Aditya. Ini bukan permainan. Jika kau gagal, mereka tidak akan segan-segan menghabisimu."
Aditya mengangguk. Tapi saat ia dalam perjalanan pulang, mobilnya dihentikan oleh sekelompok pria bertopeng. "Serahkan dokumen itu!" salah satu dari mereka berteriak.
"Aku tidak akan membiarkan kalian lolos lagi!" Aditya berteriak sambil berusaha melawan, tapi mereka terlalu banyak. Dengan brutal, mereka memukulnya hingga tak sadarkan diri dan membakar mobilnya.
Saat sadar di rumah sakit, ia mendapati dirinya terluka parah. Dokumen itu hilang. Namun, ia tersenyum tipis. Sebelum diserang, ia telah mengunggah sebagian dokumen ke email rahasia.
Artikel Aditya akhirnya diterbitkan secara anonim dan menjadi viral. Rakyat dari seluruh negeri turun ke jalan, menuntut keadilan. Pemerintah terpaksa membentuk tim investigasi khusus.
Namun, saat televisi menyiarkan penangkapan para pejabat korup, wajah salah satu tersangka membuat Aditya tertegun. Itu adalah Bayu, narasumbernya.
Aditya terguncang. Bayu ternyata memberikan dokumen itu bukan karena ingin memberantas korupsi, tetapi untuk menjatuhkan rival politiknya. Kebenaran yang ia perjuangkan ternoda oleh kepalsuan.
"Jadi aku hanya pion di permainan mereka," gumam Aditya. Tapi ia tahu, meskipun ada kebusukan di balik kebenaran, langkah pertamanya telah membuka jalan bagi perjuangan rakyat.
Di meja Aditya, poster bertuliskan "Korupsi, Hancurkan Negeri!" terpasang. Gambar bola dunia yang dicengkeram tangan hitam terasa begitu nyata. Namun kini, ia percaya bahwa tangan hitam itu tidak akan menang selama ada orang-orang yang berani melawan.
"Ini baru permulaan," bisiknya, matanya menatap penuh tekad ke masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI