OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di aula gedung FPIPS yang cerah, suara tawa dan obrolan mahasiswa Civic Hukum menggema penuh semangat. Hari terakhir kuliah semester gasal ini seperti festival kecil. Semua sibuk: ada yang mengatur pose untuk foto-foto, ada yang berkerumun di sekitar mesin kopi otomatis yang baru dipasang minggu lalu, mencicipi rasa-rasa kopi unik.
"Eh, yang dark chocolate ini enak sih, tapi kok manis banget ya?" Nona mengernyit sambil menyeruput kopinya.
"Yaa namanya juga mesin kopi, Non. Mesin ini nggak paham kamu anak anti-manis," ledek Dika sambil mengaduk kopinya yang beraroma hazelnut.
"Eh, ayo foto lagi! Aku belum ada sama kalian!" teriak Maya sambil membawa ponselnya dengan tripod kecil.
Semua langsung berkumpul di tengah aula. "Pose bebas, ya! Satu... dua... tiga... Cheeseeee!"
Tiba-tiba, suara musik Tiktok menggelegar. Semua kepala menoleh ke arah Riko yang sudah mengatur musik di ponselnya, lalu mulai berjoget dengan gaya khasnya. "Ayo, ayo, siapa ikut? Gerakannya gampang banget, lho!"
"Yungalah... aku diajak joget Tiktok!" keluh Nona sambil menutupi wajah, pura-pura malu. Tapi detik berikutnya dia melompat masuk ke barisan dengan senyum lebar.
Dalam hitungan menit, seluruh geng Civic Hukum ikut bergabung. Bahkan Pak Heru, dosen yang terkenal santai, tak tahan untuk merekam mereka. "Wah, ini momen langka. Saya upload di grup Civic Hukum ya, biar viral!" serunya sambil terkekeh.
Namun, ketika suasana sedang heboh, terdengar suara keras dari arah mesin kopi. Semua terdiam.
"Eh, itu apa? Mesin kopinya?" tanya Siska dengan wajah tegang.
Dika, si penasaran abadi, langsung melangkah mendekat. "Kayaknya tombolnya nyangkut, deh." Dia menekan-nekan tombol dengan semangat, hingga---POF!---semburan bubuk kopi memenuhi ruangan. Wajah Dika langsung belepotan cokelat.
Hening sesaat. Lalu aula meledak oleh tawa.
"Dika, kamu kayak kue brownies setengah jadi!" teriak Nona sambil terbahak, memegangi perutnya.
"Ini sih bukan Civic Hukum lagi, tapi reality show!" celetuk Riko yang tak lupa merekam insiden itu.
Tapi Dika malah tertawa paling keras. "Yaudah, yaudah. Demi kebahagiaan bersama. Tapi kalau videonya sampai ke ibu saya, siap-siap ya, kalian!"
Tawa mereka belum selesai ketika suara pelan terdengar dari mesin kopi. Dika melihat sesuatu jatuh di dekat kakinya---amplop kecil berwarna putih. "Eh, ini apa?" gumamnya sambil membukanya.
Di dalamnya ada secarik kertas dengan tulisan tangan:
"Untuk mahasiswa Civic Hukum. Selamat menikmati hari terakhir semester ini. Teruslah semangat belajar dan jaga kebersamaan kalian, karena di sinilah cerita indah bermula."
Mereka saling pandang. Pak Heru mendekat, mengambil kertas itu dan tersenyum. "Ternyata ini hadiah kecil dari fakultas. Mereka sengaja memasukkan ini di mesin kopi sebagai kejutan."
Maya memeluk Nona tiba-tiba. "Aku jadi terharu, lho! Semester depan kita bakal sibuk banget, nih. Masih bisa kayak gini nggak ya?"
Pak Heru, dengan suara bijaknya, menambahkan, "Justru momen seperti ini yang harus kalian simpan. Nilai bisa hilang di kertas, tapi kebersamaan ini abadi di hati."
Semua terdiam, lalu bertepuk tangan perlahan.
"Yowis, semester depan bikin heboh lagi, dong!" Riko memecah suasana, mengembalikan tawa.
Hari itu ditutup dengan senyuman lebar, tawa lepas, dan secarik pesan sederhana yang menyentuh hati. Aula FPIPS menjadi saksi hari yang tak akan mereka lupakan, sebuah kenangan tentang persahabatan yang dirangkai dengan tawa, kopi, dan sedikit keajaiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H