OLEH: Khoeri Abdul Muid
Suasana di ruang rapat terasa mencekam. Lampu neon yang menyinari meja panjang itu memberi kesan dingin, menciptakan bayangan yang tak bisa dihindari. Mas Eko duduk di ujung meja, wajahnya tegas namun tampak sedikit lelah. Matanya menerawang ke depan, seolah mencari sesuatu yang hilang. Sesuatu yang sudah lama ia cari, tapi kini semakin terasa jauh.
"Mas, kita harus ambil langkah besar. Ini waktunya! Glory! Itu yang kita tuju!" suara Ardi, asisten muda yang baru beberapa bulan bekerja dengan Mas Eko, bergetar penuh semangat. Wajahnya cerah, matanya berbinar seperti anak muda yang menemukan jawabannya setelah sekian lama mencari.
Mas Eko menghela napas panjang, matanya masih menatap kosong ke arah jendela. Sejak tadi, dia tak pernah benar-benar mendengarkan apa yang Ardi katakan. Hanya satu yang terdengar jelas dalam pikirannya: kata "glory" yang kini terasa semakin hampa.
"Glory, Ardi. Ya, glory..." Mas Eko mulai berbicara, namun suaranya lemah. "Tapi ingat, itu bukan untuk kepentingan pribadi. Dulu, ada yang mengajarkan saya soal 'leiden is lijden.' Itu maksudnya, memimpin itu menderita. Tanggung jawab, bukan hanya sekadar pencapaian."
Ardi tertawa, terkekeh-kekeh. "Mas Eko, itu dulu! Dulu ketika kita masih menghargai 'keagungan' sebagai teladan. Tapi sekarang ini, kita hidup di dunia yang serba cepat, serba instan. Semuanya ingin 'sekarang'. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada cerita masa lalu."
Suasana di meja rapat itu semakin panas. Mas Eko menatap Ardi dengan tatapan tajam. Rasa kecewa menggelayuti hatinya, namun dia berusaha menahan amarah yang hampir meledak. "Dan apa yang kau tawarkan, Ardi? Kejayaan tanpa makna? Kejayaan yang dilupakan begitu saja ketika kita meraihnya?" Suaranya lebih dalam, penuh penekanan.
Ardi menyeringai. "Itulah yang kita butuhkan! Hasil yang nyata, Mas. Sekarang bukan saatnya lagi untuk hidup dalam bayang-bayang. Kita butuh pencapaian, kita butuh 'glory'."
Mas Eko terdiam, memandang mereka satu per satu. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba runtuh di dalam hatinya. Apa yang mereka kejar? Sesuatu yang abadi, atau hanya bayang-bayang yang akan hilang ketika mereka sampai di tujuan?
Tiba-tiba, pintu terbuka. Maya, salah satu anggota tim yang jarang muncul di rapat, masuk dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak khawatir, matanya berbinar, namun dengan ekspresi yang sulit dipahami.