Pria itu tersenyum tipis, namun tak ada kebahagiaan di sana, hanya kelelahan yang tak terlihat. "Kamu tahu, Maya, aku tak pernah mengharapkan sesuatu yang lebih. Aku hanya ingin semuanya kembali normal. Tapi aku selalu merasa seperti... aku bukan siapa-siapa."
Maya mengernyit, menatap pria itu dalam-dalam. "Jangan pernah berpikir begitu. Kamu lebih dari apa yang kamu bayangkan. Semua orang punya tempatnya masing-masing di dunia ini."
Pria itu tertawa kecil. "Tempat? Hah. Aku hanya pemilik kafe kecil ini. Apa gunanya itu?"
Maya meletakkan gelas kopi di meja dan duduk di depannya, kali ini tanpa rasa canggung. "Kamu tidak tahu, Pak. Semua yang dimulai dengan kebaikan akan berbuah kebaikan. Mungkin kebaikan yang kamu beri pada orang lain selama ini belum membuahkan hasil yang tampak, tapi itu bukan akhir dari segalanya."
Pria itu memandang Maya, lalu matanya seolah menerawang jauh, seperti mengingat sesuatu yang terlupakan. "Kebaikan..." gumamnya. "Aku tak tahu lagi apa artinya kebaikan, Maya. Semua terasa sia-sia."
"Apa yang kamu lakukan, Pak, mungkin tak terlihat hasilnya. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, orang-orang akan melihat dan merasakannya." Maya berbicara dengan penuh keyakinan, matanya penuh harapan. "Jangan pernah berhenti berbuat baik. Bahkan ketika dunia terasa menentang."
Tiba-tiba, pria itu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja. "Maya, aku tidak pernah berbicara banyak. Tapi kamu, kamu selalu hadir dengan kebaikanmu. Aku ingin kamu tahu bahwa... aku sebenarnya adalah orang yang kamu pikirkan selama ini."
Maya tercengang, tidak bisa berkata apa-apa. "Apa maksudmu, Pak?"
"Yang kamu lihat ini," pria itu berkata sambil menunjuk kafe kecil mereka, "adalah milikku. Aku pemiliknya."
Maya hanya terdiam, bingung dan tak percaya. "Apa? Tapi... kamu...?"
"Ya. Aku datang ke sini setiap hari bukan hanya untuk secangkir kopi, Maya. Aku datang untuk melihat... apakah ada seseorang yang masih punya kebaikan di dunia ini. Dan aku menemukannya padamu."