OLEH: Khoeri Abdul Muid
Andhadha andhadhagi kanggo dandan-dandan.
Di sebuah desa kecil yang indah, di tengah sawah yang menghampar luas, Jaka Rembulan adalah sosok pemuda yang dikenal penuh semangat. Ia bukan hanya pekerja keras, tetapi juga orang yang sangat mencintai tanah warisan keluarganya. Ladang yang telah diwariskan turun-temurun oleh ayahnya adalah segalanya bagi Jaka. Namun, pada suatu hari yang panas, sebuah kesalahan besar terjadi.
Saat itu, Jaka sedang membersihkan sampah dengan api kecil, namun angin yang tiba-tiba datang membawa kobaran api ke ladang yang sangat luas. Tak terkontrol, api itu semakin besar, dan dalam waktu singkat, hampir seluruh ladang ayahnya dan ladang-ladang tetangga terbakar. Tanaman yang telah mereka rawat bertahun-tahun hancur lebur.
Warga desa pun datang berlari. "Jaka! Kamu tahu apa yang telah kamu lakukan?!" teriak Pak Sastro, tetangga yang tanahnya juga terbakar. "Kamu telah menghancurkan segalanya! Ladang kita rusak semua karena keteledoranmu!"
Jaka berdiri di tengah kebakaran yang memusnahkan segala harapan, matanya kosong, hanya ada perasaan bersalah yang luar biasa. Ia hanya bisa menundukkan kepala, tak mampu berkata-kata.
Namun, di tengah kepedihan yang begitu dalam, Ki Sancaka, seorang tetua desa yang dihormati, mendekat dengan langkah tenang. "Jaka, ayo ikut aku," katanya sambil memandang Jaka dengan tatapan yang penuh makna.
Jaka yang kebingungan, tanpa berkata apa-apa, mengikuti Ki Sancaka ke tepi desa. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang, jauh dari keramaian.
"Ki, aku telah merusak segalanya. Tanah ini, harapan keluarga, aku yang membuatnya hancur," kata Jaka dengan suara gemetar.
Ki Sancaka menatap Jaka dengan bijak. "Jaka, jangan biarkan rasa bersalahmu menutup mata hati. Masalah yang datang, sesulit apapun itu, memiliki hikmah yang lebih besar daripada kesedihan yang kita rasakan. Kamu merasa semua sudah berakhir, tapi sesungguhnya, ini adalah awal dari perjalanan baru," katanya perlahan.
Jaka terdiam. "Tapi, Ki, apa yang bisa aku lakukan untuk memperbaikinya? Semua sudah hancur."
Ki Sancaka tersenyum tipis. "Setiap masalah itu seperti benih yang tumbuh di tanah yang gersang. Jika kamu berhenti di tengah jalan, ia akan mati. Tapi jika kamu terus berjuang, benih itu akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Jangan lari dari masalah. Kita harus menerima, mencari akar permasalahannya, dan dengan sabar mencari jalan untuk keluar."
Jaka mendengarkan dengan seksama, merasa ada cahaya yang mulai menyinari kegelapan hatinya. "Apa yang harus aku lakukan, Ki?"
"Yang pertama, kamu harus menghadapinya dengan keberanian," jawab Ki Sancaka. "Undanglah semua warga desa. Jelaskan kesalahanmu dan ajak mereka untuk bekerja bersama. Jangan lari dari kenyataan. Tunjukkan bahwa kamu siap memperbaiki keadaan."
Keesokan harinya, Jaka, dengan langkah mantap meski hatinya masih diliputi kekhawatiran, mengundang semua warga desa untuk berkumpul. "Saya mohon maaf atas kesalahan saya. Tanah ini penting untuk kita semua, dan saya siap bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Saya ingin mengajak kalian untuk bekerja bersama, menanam bibit baru, dan membangun kembali ladang yang rusak. Saya tahu ini tak mudah, tapi saya yakin, jika kita bersatu, kita bisa mengatasi semua ini."
Pak Sastro yang sebelumnya marah besar kini menatap Jaka dengan hati yang lebih terbuka. "Kamu benar, Jaka. Ini bukan saatnya untuk menyalahkan. Mari kita bekerja sama. Kita semua terluka, tapi bersama, kita bisa sembuh."
Hari demi hari, Jaka dan warga desa bekerja keras tanpa kenal lelah. Mereka menanam bibit baru, memperbaiki irigasi, dan merawat tanah yang hangus. Meski banyak tantangan, semangat mereka tak pernah padam. Jaka yang sebelumnya hanya seorang pemuda biasa, kini menjadi pemimpin bagi warga desa. Ia menunjukkan ketekunan dan keberanian, dan perlahan-lahan, ladang-ladang yang terbakar mulai hijau kembali.
Suatu hari, ketika ladang mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Pak Sastro mendekati Jaka dengan senyum lebar. "Ladang ini lebih subur dari sebelumnya. Kamu telah membawa perubahan besar, Jaka. Ini bukan hanya ladang, ini adalah simbol kebangkitan kita."
Ki Sancaka yang melihat perkembangan ini mendekati mereka. "Ingat, Jaka, seperti yang kukatakan dulu. Masalah itu adalah benih yang tumbuh, jika kita memberi perhatian dan kasih sayang. Kamu telah membuktikan bahwa dengan usaha dan keberanian, segalanya bisa diperbaiki."
Jaka menatap ladangnya yang kini hijau dan subur, dan ia merasa ada kedamaian yang luar biasa dalam hatinya. "Ki, saya belajar banyak. Masalah itu datang untuk menguji kita, dan kita harus menghadapi, bukan lari. Terima kasih atas bimbinganmu."
Warga desa pun kini mengakui bahwa perubahan yang terjadi bukan hanya pada ladang, tetapi juga pada diri mereka sendiri. Mereka belajar bahwa tidak ada masalah yang terlalu besar jika dihadapi dengan hati yang tulus dan kerja sama yang kuat. Dan Jaka, pemuda yang dulu dihujat, kini dihormati sebagai sosok yang membawa kebangkitan bagi desa mereka.
"Jaka, kamu telah membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita bersama-sama," kata Ki Sancaka bangga. "Masalah itu hanya batu loncatan menuju kebijaksanaan yang lebih besar."
Jaka tersenyum lebar. "Masalah itu bukan akhir dari segalanya, Ki. Justru itu adalah awal dari perjalanan yang lebih indah."
Dengan semangat yang baru, desa mereka terus berkembang. Jaka, yang dulu ragu, kini percaya bahwa setiap masalah mengandung potensi untuk tumbuh menjadi sesuatu yang luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H