OLEH: Khoeri Abdul Muid
Mengapa kebenaran sering kali terasa lebih berat daripada kebatilan? Di desa Tamanjati yang asri, pertanyaan ini menjadi topik yang terngiang di kepala Arga, seorang pemuda yang dikenal karena kejujurannya. Ia sering berkata, "Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti," yang berarti kekuatan dan kekerasan hanya bisa dikalahkan oleh kebijaksanaan. Namun, kebijaksanaan itu diuji ketika desanya dilanda skandal.
Pak Wirya, kepala desa yang dihormati, dituduh menyelewengkan dana pembangunan desa. Banyak warga mencurigainya, tetapi tak satu pun berani bicara, apalagi melawan kekuasaannya. Sebagai pemimpin berpengaruh, Pak Wirya punya sekutu kuat yang menjaga posisinya.
Arga, yang tidak tahan melihat desanya terpecah oleh isu itu, memutuskan bertindak. "Kebenaran tidak membutuhkan banyak sekutu, cukup hati yang bersih dan keberanian," pikirnya. Diam-diam, ia mulai mengumpulkan bukti. Ia mendengar kisah dari petani yang dibohongi, memeriksa dokumen, hingga menyusup ke gudang tempat catatan keuangan disimpan.
Namun, langkahnya tidak berjalan mulus. Suatu malam, saat pulang dari ladang, ia dihadang oleh dua pria bertopeng. Salah satu dari mereka berkata, "Hentikan apa yang kau lakukan, atau kau tak akan selamat." Meski tubuhnya gemetar, Arga hanya menjawab, "Kebenaran tak akan mati, meski aku dimatikan."
Ancaman itu tidak menghentikannya. Suatu malam, ia menemukan dokumen penting yang menunjukkan penyalahgunaan dana desa. Tetapi, ketika ia hendak menyerahkan dokumen itu dalam rapat warga, rumahnya dibakar oleh orang tak dikenal. Dalam kepanikan, ia hanya sempat menyelamatkan keluarganya. Bukti yang ia kumpulkan hangus tak bersisa.
Pada hari rapat besar, warga memenuhi balai desa. Suasana tegang. Pak Wirya duduk dengan tenang, senyum penuh kemenangan di wajahnya. Arga, dengan pakaian sederhana yang masih berbau asap, berdiri di depan mereka.
"Dokumen yang saya kumpulkan telah dibakar. Tapi, saya berdiri di sini bukan karena kertas atau angka, melainkan karena kebenaran. Pak Wirya, saya tidak menuduh tanpa dasar. Saya hanya ingin bertanya: dapatkah Anda melihat warga desa ini dan mengatakan bahwa Anda tidak bersalah?"
Balai desa sunyi. Mata Pak Wirya tampak berkilat marah, tetapi sebelum ia bisa menjawab, seorang pria tua berdiri. "Aku tahu kebenarannya," kata Mbah Surya, seorang sesepuh desa yang dihormati. "Aku menyaksikan dengan mataku sendiri Pak Wirya mengalihkan dana desa untuk membangun vila keluarganya. Selama ini aku diam, tapi keberanian Arga mengingatkanku bahwa diam adalah kebatilan."
Pernyataan itu membuat warga lain maju satu per satu, menyuarakan apa yang selama ini mereka sembunyikan. Pak Wirya, yang tadinya bersikeras mempertahankan kebohongannya, akhirnya jatuh berlutut. "Aku salah. Aku khilaf. Ampuni aku, warga Tamanjati," katanya dengan suara bergetar.
Air mata menetes dari banyak mata. Bahkan Arga merasa lega, bukan karena kebenaran menang, tetapi karena Pak Wirya akhirnya menunjukkan sisi manusianya.