OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam di Desa Sukaluyu terasa dingin menusuk. Di sebuah rumah tua di ujung desa, seorang pria bernama Pak Semaun termenung di teras rumahnya. Usianya hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus, dengan wajah yang dihiasi kerutan kehidupan. Ia hidup sendirian, tanpa keluarga, tanpa teman dekat.
Dulu, Pak Semaun adalah pedagang sukses di pasar kota. Ia kaya raya, namun keserakahan menjadi nafas hidupnya. Banyak orang pernah ditipunya. Lahan-lahan penduduk desa diambil dengan janji palsu, sehingga mereka kehilangan mata pencaharian. Ketika diperingatkan, ia hanya tertawa.
"Lair, tuwa, lara, mati... itu urusan nanti. Hidup sekarang ini untuk mencari harta, bukan merenungi nasib!" katanya angkuh.
Namun, roda kehidupan berputar. Kekayaannya habis karena bisnisnya bangkrut. Para tetangga yang dulu diperasnya memilih diam dan membiarkannya menderita. Satu per satu orang yang dicintainya meninggalkannya: istrinya sakit keras dan meninggal, sementara anaknya memilih merantau tanpa pernah kembali.
Kini, di usia senja, Pak Semaun hanya ditemani suara jangkrik di malam hari dan kenangan masa lalu yang menghantuinya.
Suatu malam, hujan deras mengguyur Desa Sukaluyu. Pak Semaun terbangun karena mendengar suara ketukan di pintu rumahnya. Dengan tubuh lemah, ia berjalan membuka pintu.
Di depan pintu, seorang lelaki muda berdiri dengan tubuh basah kuyup. Wajahnya tampak asing, namun matanya tajam menatap langsung ke arah Pak Semaun.
"Bapak... butuh bantuan?" tanyanya, nada suaranya penuh kehangatan.
Pak Semaun bingung. Sudah bertahun-tahun tak ada yang menawarkan bantuan kepadanya. Namun ia mempersilakan pemuda itu masuk. Lelaki itu menghangatkan diri di depan perapian kecil.
"Nama saya Rahmat. Saya baru saja sampai di desa ini," katanya. "Tapi Bapak... kelihatannya menyimpan banyak beban."