Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lahir, Tua, Lara, Mati

24 November 2024   10:40 Diperbarui: 24 November 2024   10:43 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pak Semaun menghela napas panjang. Entah mengapa, ia merasa nyaman berbicara dengan pemuda itu. Malam itu, ia menceritakan semua: kekayaannya, kejahatannya, hingga kesendirian yang kini melingkupinya.

Rahmat mendengarkan dengan sabar. Kemudian, ia berkata, "Apa yang Bapak alami adalah bagian dari kehidupan: lair, tuwa, lara, mati. Dumadi, ana, sirna. Setiap orang akan mengalaminya. Namun, karma kita yang akan menentukan apa yang kita warisi."

Pak Semaun terpaku. Kata-kata itu menggema di pikirannya. "Karma?" gumamnya.

Rahmat mengangguk. "Apa yang Bapak perbuat dulu, itulah yang Bapak petik sekarang. Namun, masih ada waktu untuk menanam benih kebaikan, meski sedikit."

Sejak malam itu, hidup Pak Semaun perlahan berubah. Ia mulai meminta maaf kepada tetangga yang pernah ia rugikan. Sebagian memaafkan, sebagian tetap menghindarinya. Namun, ia terus mencoba. Ia mulai merawat kebun kecil di belakang rumahnya, lalu membagikan hasil panennya kepada warga yang membutuhkan.

Rahmat sering datang membantu, mengingatkannya untuk tidak menyerah. "Semua ini proses, Pak. Hasilnya mungkin tidak segera terlihat, tapi jejaknya akan terasa."

Beberapa bulan kemudian, Rahmat menghilang begitu saja. Pak Semaun mencarinya ke mana-mana, namun tak ada yang pernah melihatnya. Ketika ia bertanya kepada tetangga, mereka berkata tak pernah melihat pemuda seperti yang ia gambarkan.

Hari-hari berlalu. Pada suatu sore, di bawah pohon mangga, Pak Semaun ditemukan warga telah meninggal dunia. Wajahnya tenang, seolah ia telah berdamai dengan hidupnya.

Di tangan kanannya, mereka menemukan secarik kertas bertuliskan:

"Lair, tuwa, lara, mati adalah bagian dari hidup. Karma adalah warisan kita. Aku telah mencoba, meski terlambat. Semoga ini cukup untuk membawaku menuju kedamaian."

Yang mengejutkan, di kertas itu juga terdapat tanda tangan Rahmat, yang tidak pernah dikenali siapa pun di desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun