Pak Semaun menghela napas panjang. Entah mengapa, ia merasa nyaman berbicara dengan pemuda itu. Malam itu, ia menceritakan semua: kekayaannya, kejahatannya, hingga kesendirian yang kini melingkupinya.
Rahmat mendengarkan dengan sabar. Kemudian, ia berkata, "Apa yang Bapak alami adalah bagian dari kehidupan: lair, tuwa, lara, mati. Dumadi, ana, sirna. Setiap orang akan mengalaminya. Namun, karma kita yang akan menentukan apa yang kita warisi."
Pak Semaun terpaku. Kata-kata itu menggema di pikirannya. "Karma?" gumamnya.
Rahmat mengangguk. "Apa yang Bapak perbuat dulu, itulah yang Bapak petik sekarang. Namun, masih ada waktu untuk menanam benih kebaikan, meski sedikit."
Sejak malam itu, hidup Pak Semaun perlahan berubah. Ia mulai meminta maaf kepada tetangga yang pernah ia rugikan. Sebagian memaafkan, sebagian tetap menghindarinya. Namun, ia terus mencoba. Ia mulai merawat kebun kecil di belakang rumahnya, lalu membagikan hasil panennya kepada warga yang membutuhkan.
Rahmat sering datang membantu, mengingatkannya untuk tidak menyerah. "Semua ini proses, Pak. Hasilnya mungkin tidak segera terlihat, tapi jejaknya akan terasa."
Beberapa bulan kemudian, Rahmat menghilang begitu saja. Pak Semaun mencarinya ke mana-mana, namun tak ada yang pernah melihatnya. Ketika ia bertanya kepada tetangga, mereka berkata tak pernah melihat pemuda seperti yang ia gambarkan.
Hari-hari berlalu. Pada suatu sore, di bawah pohon mangga, Pak Semaun ditemukan warga telah meninggal dunia. Wajahnya tenang, seolah ia telah berdamai dengan hidupnya.
Di tangan kanannya, mereka menemukan secarik kertas bertuliskan:
"Lair, tuwa, lara, mati adalah bagian dari hidup. Karma adalah warisan kita. Aku telah mencoba, meski terlambat. Semoga ini cukup untuk membawaku menuju kedamaian."
Yang mengejutkan, di kertas itu juga terdapat tanda tangan Rahmat, yang tidak pernah dikenali siapa pun di desa.