Saat mereka tiba di mercusuar, generator sudah hampir mati. Pak Wiryo bergegas memeriksa mesinnya, sementara Feri memegang tangga agar tidak roboh.
"Pak, apa ini nggak terlalu berbahaya?" Feri berteriak, suaranya tenggelam dalam gemuruh badai.
"Berbahaya, Fer," jawab Pak Wiryo tanpa menoleh. "Tapi kalau kita berhenti, apa yang bakal terjadi pada kapal-kapal di luar sana?"
Feri ingin membantah, tapi ia melihat sesuatu yang lain di wajah ayahnya---tekad yang kokoh. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa pekerjaan ayahnya bukan sekadar rutinitas, tapi panggilan hidup.
Badai mereda menjelang pagi. Mercusuar tetap menyala, memberikan cahaya bagi kapal-kapal yang melewati laut. Pak Wiryo terduduk di lantai mercusuar, wajahnya basah oleh keringat dan air hujan.
"Pak, Bapak luar biasa," ujar Feri, suaranya pelan.
Pak Wiryo tersenyum, meski terlihat lelah. "Ini bukan soal luar biasa, Fer. Wong kudu gelem kangelan. Kalau kita cuma mau yang mudah, kita nggak akan pernah tahu betapa berharganya usaha kita."
Beberapa bulan kemudian, desa itu heboh. Sebuah surat kabar menampilkan foto mercusuar dengan lampu yang menyala terang di tengah badai. Artikel itu bercerita tentang seorang penjaga mercusuar tua yang tetap bekerja meski dalam kondisi ekstrem, menyelamatkan sebuah kapal dari karam.
Namun, ketika wartawan datang untuk mewawancarai Pak Wiryo, mereka hanya menemukan Feri di mercusuar.
"Bapak saya sudah nggak ada," ujar Feri sambil menatap lautan. "Tapi apa yang dia lakukan akan selalu jadi cahaya buat saya."
Feri kini berdiri di tempat ayahnya, menjaga lampu mercusuar dengan tekad yang sama. Ia menyadari bahwa hidup memang tak selalu mudah, tapi setiap kesulitan yang dihadapi dengan keberanian akan meninggalkan cahaya bagi orang lain.