OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit malam itu mendung. Dalam sebuah rumah sederhana di ujung desa, Pak Wiryo duduk di kursi tua, wajahnya penuh kerut kelelahan. Ia adalah penjaga lampu mercusuar yang sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya. Meski tak banyak yang mengenalinya, Pak Wiryo percaya pekerjaannya menyelamatkan banyak nyawa.
"Pak, kenapa nggak pensiun saja? Pekerjaan ini terlalu berat untuk orang seusia Bapak," ujar Feri, anak laki-lakinya, yang datang dari kota sore itu.
Pak Wiryo tersenyum tipis, menatap wajah putranya. "Feri, tahu nggak? Kalau lampu mercusuar ini mati, nelayan dan kapal-kapal bisa kehilangan arah di laut. Nyawa mereka tergantung pada cahaya kecil ini."
"Tapi kan, Bapak sudah tua. Kenapa nggak kasih kesempatan ke yang muda?"
"Bapak nggak takut kerja keras, Nak. Kalau semua orang hanya mau yang mudah, siapa yang mau bertanggung jawab waktu susah?"
Feri terdiam. Ia tak pernah mengerti mengapa ayahnya rela menjalani pekerjaan yang sulit dan berbahaya, apalagi di usianya yang renta.
Beberapa hari kemudian, badai besar menghantam desa. Hujan turun deras, angin menderu seperti ingin merobohkan rumah-rumah. Dari mercusuar, lampu menyala redup, nyaris padam karena generator tua yang berjuang keras melawan cuaca buruk.
"Pak, jangan ke mercusuar! Bahaya!" teriak Feri, yang melihat ayahnya bersiap membawa tangga dan peralatan ke luar rumah.
Pak Wiryo tak menggubris. Ia melawan angin dan hujan, berjalan tertatih menuju mercusuar. Feri, meski ragu, akhirnya mengejar.