OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pasar pagi itu riuh, bau bawang dan rempah-rempah bercampur dengan asap dari warung-warung makan. Sri berdiri di depan gerobak sotonya, wajahnya penuh peluh, tapi matanya tetap menyala. Hari ini seperti hari-hari lainnya, ia sibuk melayani pelanggan yang tak henti-hentinya datang.
“Sotonya enak, Bu Sri. Beda dari yang lain!” seru seorang pelanggan setia.
Sri hanya tersenyum kecil. “Makasih, Mas. Semoga selalu cocok.”
Di sudut pasar, seorang pria kurus bernama Tono mengamati gerobak Sri dengan pandangan penuh iri. Ia juga berjualan soto, hanya beberapa meter dari gerobak Sri, tapi pelanggannya jarang. Tono tahu sotonya tak sebaik milik Sri. Meski bahan-bahannya sama, ada sesuatu dari rasa soto Sri yang tak pernah bisa ia tiru.
Malam harinya, Tono datang ke rumah Sri.
“Sri, boleh aku pinjam resep sotomu?” tanyanya tanpa basa-basi.
Sri terkejut. Ia menatap Tono lama sebelum menjawab, “Resepku sederhana, Ton. Semua orang tahu cara bikin soto. Kuah kaldu ayam, rempah-rempah, bawang, sedikit gula...”
“Omong kosong!” potong Tono kasar. “Kalau semua tahu, kenapa pelangganmu selalu ramai sementara gerobakku sepi?”
Sri hanya tersenyum samar. “Mungkin bukan soal resepnya, Ton. Kadang, rasa itu datang dari sesuatu yang nggak kelihatan.”