OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa yang tenang namun penuh bisik-bisik, hidup seorang lelaki bernama Jarwo. Ia tak banyak bicara, hanya melakukan pekerjaannya sebagai pengrajin kayu. Tapi justru sikap diamnya itu yang membuatnya menjadi bahan pembicaraan orang.
"Jarwo itu aneh. Hidupnya begitu-begitu saja, seperti tidak punya cita-cita," bisik Bu Marni pada tetangganya.
"Kok tidak menikah? Usianya sudah kepala tiga. Jangan-jangan ada yang disembunyikan," tambah Pak Darto sambil tertawa kecil.
Desas-desus itu terus berputar, hingga akhirnya ada yang berani bertanya langsung kepadanya.
"Jarwo, kenapa kamu diam saja ketika orang-orang membicarakanmu?" tanya Pak Lurah suatu hari.
Jarwo hanya tersenyum tipis. "Ora ana kang ora dicacat, Pak Lurah. Wong sing akeh omong diceluk cerewet, wong sing meneng wae kok ya diarani misterius. Apa gunane aku nerangke?"
Pak Lurah mengangguk pelan, merasa ada kebenaran dalam jawaban itu. Namun, bagi orang-orang desa, sikap Jarwo yang tak pernah membela diri justru dianggap semakin mencurigakan.
Suatu malam, sebuah peristiwa menggemparkan desa. Rumah Bu Marni terbakar habis. Jeritannya menggema, memanggil bantuan.
Semua orang berlari keluar, tapi tak seorang pun cukup berani mendekat. Kobaran api terlalu besar, sementara Bu Marni masih terjebak di dalam bersama cucunya.