OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pagi itu, Rina berdiri kaku di depan pintu rumah Arif, merasa udara begitu berat menekan dada. Tangan kirinya gemetar memegang amplop berisi surat permohonan maaf. Ia sudah lama menunggu saat ini, menyiapkan kata-kata yang tepat. Tapi semua terasa sia-sia. Hati Rina bergejolak antara harapan dan ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Seperti ada suara yang berbisik, "Ini mungkin langkah terakhir."
"Ada apa, Rina?" Arif membuka pintu dengan wajah yang tak pernah ia kenali lagi. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat seperti dulu. Hanya ada dingin dan jurang yang semakin dalam.
Rina memandangnya, ingin sekali mengungkapkan semua, tapi hanya kata-kata yang tercekat di tenggorokan. "Aku... cuma ingin ngomong. Mung njaluk pangapura."
Arif menatap amplop di tangan Rina dengan tatapan kosong. "Jaluk pangapura?" Ia tertawa miris, kemudian melangkah mundur, memberi ruang agar Rina masuk. "Kamu pikir itu cukup, Rina? Kamu pikir kata maaf itu bisa menyembuhkan semuanya?" Suaranya parau, sakit.
Rina mematung. Hanya kata "maaf" yang bisa ia ucapkan, tapi tahu betul bahwa itu tidak akan cukup. Arif sudah terluka terlalu dalam.
"Aku... Aku nggak tahu harus bilang apa, Arif." Rina akhirnya bersuara, suaranya bergetar. "Aku nyesel. Sangat nyesel."
Arif menoleh dengan mata penuh amarah yang sudah lama terkubur. "Nyesel? Setelah semua yang kamu lakukan, Rina? Kamu bilang kamu nyesel? Apakah itu akan mengembalikan segalanya yang sudah hancur?" Ia berjalan menjauh, suaranya berubah menjadi suara yang tak bisa lagi ditahan. "Aku sudah mencoba untuk memahami kamu, Rina. Tapi kamu malah lebih memilih dia. Dia, yang bahkan tidak peduli denganmu, yang hanya menjadikanmu sebagai pelampiasan!"
Setiap kata Arif bagaikan pisau yang menusuk jantung Rina. Kenyataan itu kembali menghantamnya dengan keras. Ia memang telah memilih jalan yang salah, lebih memilih menjaga rahasia daripada kebenaran yang seharusnya ia katakan sejak awal.
"Aku nggak bisa ngubah semuanya, Arif," ujar Rina, mata sudah berkaca-kaca. "Tapi aku nggak bisa terus begini. Aku mencintaimu, aku nggak mau kehilanganmu. Aku salah. Dan aku... nggak tahu kenapa aku bisa sampai segitunya. Aku takut, Arif... takut kalau aku kehilanganmu. Aku bingung waktu itu."
Arif memutar tubuhnya, wajahnya tampak dipenuhi kepedihan yang dalam. "Keputusan kamu sudah jelas, Rina. Kamu memilih untuk berlari. Kamu memilih dia dan lari dari aku."
Rina merasa dunia seolah berhenti berputar. Semua yang mereka bangun, semua kenangan mereka, kini terbungkus dalam amarah yang tak bisa dihapus. "Aku nggak tahu bisa nggak kembali seperti dulu," katanya, suaranya lirih. "Tapi aku hanya bisa minta maaf. Aku benar-benar menyesal."
"Tapi maaf tidak cukup, Rina," kata Arif dengan suara serak, menahan air mata yang hendak jatuh. "Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan? Kamu merusak kepercayaan, kamu membuat aku merasa seperti orang bodoh yang selalu menunggumu. Dan sekarang kamu datang dengan maaf yang terlambat."
Rina merasakan hatinya seakan terbelah. Ia tahu bahwa permohonan maaf ini, meskipun sekuat apa pun ia mengatakannya, tak akan mampu memperbaiki apa yang telah rusak. Arif sudah terlalu terluka. Dan ia hanya bisa melihatnya, tidak bisa meraih kembali apa yang telah hilang.
"Arif, please..." Rina berusaha mendekat, tetapi Arif menjauh, menahan dirinya. "Aku nggak bisa hidup dengan rasa bersalah ini. Aku... aku cinta kamu."
Arif menatapnya dengan tatapan kosong, seolah ada dinding tebal yang memisahkan mereka. "Kamu tahu, Rina, kata 'cinta' itu nggak cukup. Maaf juga nggak cukup. Aku sudah terlalu lelah, dan aku nggak punya tenaga lagi untuk berharap."
Rina terpaku di tempatnya, amplop yang ia pegang terasa begitu berat. Kata "maaf" yang sudah ia persiapkan dengan begitu lama terasa hampa di udara. Ia mengerti, ia telah terlambat. Permintaan maaf tidak akan bisa mengganti kepercayaan yang telah hilang, tidak akan bisa memperbaiki luka yang terlalu dalam.
Arif berbalik dan melangkah ke dalam rumah, meninggalkan Rina yang terdiam dengan perasaan hancur. Ia tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Semua yang ada kini hanya kenangan yang berangsur memudar. Dalam keheningan itu, Rina menyadari satu hal yang menyakitkan: tidak semua kesalahan bisa diperbaiki dengan maaf. Ada luka yang terlalu dalam untuk bisa disembuhkan.
Saat pintu rumah Arif tertutup perlahan, Rina merasakan sebuah kepedihan yang tak terkatakan. Ia tahu, mungkin tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki segalanya. Mungkin, kali ini, maaf sudah tak ada artinya lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI