Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Kepala Sekolah SDN Kuryokalangan 02, Gabus Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kekuatan Tanpa Ketakutan

22 November 2024   13:17 Diperbarui: 22 November 2024   13:36 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. pathoes.com

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Saat hujan turun di sore yang murung, Seno duduk termenung di sudut warung kopi. Kopinya sudah lama mendingin, namun ia masih memandang kosong ke luar jendela, seperti ada yang menghalangi pikirannya. Di depan meja, Bayu duduk dengan ceria, seperti biasa. Senyum itu yang selalu menenangkan Seno, membuatnya merasa seperti apa pun yang terjadi, dunia akan baik-baik saja.

"Tahu nggak, Sen?" tanya Bayu, memecah keheningan. "Kadang, kita harus berhenti bertanya kenapa, dan mulai menerima apa adanya."

Seno hanya menatap Bayu. Ternyata, ia sudah mulai merasakan perasaan itu. Sebuah ketakutan yang ia tak tahu dari mana datangnya. Ketakutan yang seperti menyelinap ke dalam jiwanya tanpa ia sadari. Ketakutan yang membuat dirinya tidak pernah bisa merasakan ketenangan meskipun dunia terlihat baik-baik saja.

"Kenapa begitu?" jawab Seno pelan, suara yang hampir tenggelam oleh suara rintikan hujan di luar.

Bayu tertawa kecil. "Karena kadang, kita mencari alasan pada semua yang terjadi, padahal jawaban itu ada di dalam diri kita. Kita cuma perlu berani menghadapinya."

Seno mengalihkan pandangannya ke jendela, seolah enggan menerima kenyataan. "Aku nggak bisa... aku takut, Bayu."

Bayu memandang Seno dengan tatapan penuh pengertian. "Takut itu wajar, Sen. Tapi, takut yang berlebihan itu bisa menghambat hidupmu. Orang yang berani bukanlah orang yang tidak merasa takut, tapi orang yang mampu menaklukkan ketakutannya."

Seno menggigit bibirnya. Kata-kata Bayu menancap dalam-dalam, menyentuh bagian jiwanya yang selama ini ia sembunyikan. Ia tahu ia takut---takut pada perubahan, takut akan kehilangan, takut gagal. Namun, ia tidak pernah benar-benar berani menghadapinya.

Keheningan kembali menyelimuti ruang warung kopi itu. Hujan yang semakin deras seakan menjadi teman bisu mereka. Namun, Seno merasa ada yang tidak beres. Perasaan cemas yang tiba-tiba muncul tak bisa ia pendam lebih lama. Lalu, Bayu menundukkan kepalanya, menghela napas panjang.

"Sen, aku harus pergi," ucapnya dengan suara rendah.

Seno mendongak, bingung. "Ke mana?"

Bayu tersenyum tipis, seolah sudah mempersiapkan jawaban itu sejak lama. "Ke tempat yang harus kutemui, untuk sebuah alasan yang tak bisa kutunda lagi."

Seno terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kata-kata Bayu itu datang begitu tiba-tiba, seperti hujan yang mengguyur tanpa aba-aba. Seno merasa seperti dunia berputar lebih lambat, jantungnya berdegup kencang, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dirinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia ingin mencegahnya, tapi bagaimana caranya?

"Jadi, kamu akan pergi, Bayu?" tanya Seno dengan suara pecah, hampir tak bisa menahan air mata yang mendesak untuk jatuh.

Bayu hanya mengangguk pelan, menatap Seno dengan tatapan penuh makna. "Aku harus. Ini jalan hidupku, Sen. Kamu pun harus melangkah, dengan atau tanpa aku."

Seno menggigit bibirnya. Ia merasa seperti ada yang hilang dari dirinya. Seolah Bayu adalah bagian dari dirinya yang tak bisa ia lepaskan. Tapi, di saat yang sama, ia tahu Bayu benar. Ia terlalu lama terjebak dalam ketakutannya, takut pada perubahan, takut pada kenyataan.

"Jangan khawatir, Sen," kata Bayu lembut, menyentuh bahu Seno. "Kamu kuat. Lebih kuat dari yang kamu kira."

Bayu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu, meninggalkan Seno yang masih tercengang, menatap punggung Bayu yang semakin jauh. Sesaat kemudian, Bayu menghilang dalam kabut hujan, dan warung kopi yang sepi mendalam.

Seno duduk diam, air mata menetes tanpa ia sadari. Sesuatu yang berat menghimpit dadanya, tetapi seiring waktu, ia merasakan sedikit kelegaan. Di dalam dirinya, sebuah suara berbisik, mengingatkan tentang apa yang Bayu katakan. Bahwa keberanian bukan berarti tidak takut, tapi tentang menghadapi ketakutan itu dengan kepala tegak.

Malam itu, Seno pulang dengan langkah yang lebih berat dari biasanya, namun juga lebih pasti. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Bayu yang terus bergaung di dalam hatinya. Ketika ia membuka pintu rumah, ia mendapati ibunya sedang menunggu dengan senyum hangat. Ia mendekat dan memeluk ibunya erat-erat, merasakan sebuah kekuatan baru dalam dirinya.

Seno tahu, perjalanan hidupnya masih panjang. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap. Karena ia tahu, keberanian datang bukan dari menghindari ketakutan, tetapi dari menghadapinya dengan penuh keyakinan.

Ia akan melangkah maju, dengan atau tanpa Bayu di sisinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun