OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Kendeng, Pak Wiryo dan Bu Sumi menjalani hari-hari mereka sebagai petani. Ladang kecil mereka adalah sumber kehidupan, tempat mereka menaruh harapan dan doa. Meski hidup sederhana, pasangan ini dikenal karena jarang bertengkar.
Namun, suatu hari, awan gelap datang menyelimuti rumah mereka. Harga pupuk naik, sementara hasil panen terus menurun. Beban semakin berat, dan Pak Wiryo merasa harus segera mengambil keputusan besar.
"Sumi," katanya suatu sore, memecah keheningan di ruang tengah, "Aku berpikir untuk menjual sebagian tanah ladang kita. Dengan uangnya, kita bisa membeli pupuk dan bertahan hingga panen berikutnya."
Bu Sumi, yang sedang menyiapkan teh, berhenti sejenak. "Ladang itu adalah warisan, Wiryo. Jika dijual, kita tak akan punya apa-apa lagi di masa depan. Mungkin lebih baik kita mengurangi pengeluaran, atau aku bisa mencari cara lain di pasar."
Pak Wiryo terdiam. Kata-kata istrinya membuatnya merasa ragu, tetapi kekhawatirannya tentang masa depan tak kunjung reda. "Tapi bagaimana kalau tanaman kita gagal lagi? Apa kamu yakin kita bisa bertahan tanpa menjual tanah itu?"
Diskusi berubah menjadi debat panjang hingga malam. Tak ada yang berteriak atau membanting pintu, tetapi keheningan yang menyusul terasa lebih berat dari hujan yang turun di luar.
Di tengah malam, saat lampu minyak mulai meredup, Bu Sumi mendekati suaminya yang duduk termenung di kursi bambu. "Wiryo," katanya lembut, "Dalam rumah tangga ini, tidak ada menang dan kalah. Kalau kita terus berusaha saling mengalahkan, yang kalah bukan hanya aku atau kamu, tapi kita berdua. Aku hanya ingin kita tetap bersama, apapun yang terjadi. Jika kamu yakin menjual tanah adalah jalan terbaik, aku akan mendukungmu. Tapi, tolong, yakinkan aku bahwa ini adalah keputusan yang benar."
Mendengar itu, Pak Wiryo menunduk. Hatinya bergetar. Ia menyadari bahwa masalah ini bukan tentang siapa yang benar, tetapi bagaimana mereka bisa menghadapi semuanya bersama.
"Baiklah, Sumi," katanya akhirnya. "Kita tidak perlu menjual tanah. Ladang ini terlalu berharga, bukan hanya sebagai sumber penghidupan, tetapi sebagai warisan keluarga kita. Mari kita cari cara lain."