OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa pada suatu malam yang diberkahi, untuk memperlihatkan sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya."
(QS. Al-Isra' 1)
Langit malam di atas Makkah tampak hening dan kelam, seolah seluruh alam semesta terdiam, menantikan peristiwa yang tak terbayangkan. Di dalam rumah sederhana, Rasulullah Muhammad SAW terbaring dalam kondisi antara sadar dan tidur.
Ketika dunia terbungkus dalam kelamnya malam, tiba-tiba muncul cahaya yang begitu terang dan Malaikat Jibril hadir di hadapannya. Suara lembut namun penuh kewibawaan mengalun:
"Bangkitlah, Muhammad."
Tidak ada keraguan di hati beliau. Nabi SAW bangkit dengan keyakinan bahwa sesuatu yang sangat agung tengah menanti. Jibril mengajak beliau keluar, dan di hadapan mereka berdirilah makhluk luar biasa---Buraq. Seekor hewan yang penuh cahaya dan kecepatan, diciptakan untuk mengantar beliau dalam perjalanan spiritual yang sangat penting.
Dengan sorot bulan yang menyinari, Nabi Muhammad menaiki Buraq, siap melangkah menuju peristiwa yang akan mengubah segalanya.
Inilah perjalanan Isra'---dari Masjid al-Haram di Makkah menuju Masjid al-Aqsa di Yerusalem, perjalanan yang tidak mungkin terjadi menurut logika manusia, namun nyata dengan kuasa Tuhan. Dengan kecepatan yang luar biasa, Buraq melaju, membawa Nabi SAW melintasi angkasa, sementara angin malam menyapa dengan lembut.
Tanah dan bintang-bintang bergerak begitu cepat di bawah mereka, namun Nabi tetap tenang. Hatinya penuh makna, bahwa perjalanan ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari sekedar jarak dan waktu.
Sesampainya di Masjid al-Aqsa, Nabi SAW disambut oleh para nabi terdahulu---Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa, dan para nabi lainnya. Mereka berkumpul dalam kekhusyukan, menghormati Nabi Muhammad sebagai utusan terakhir.
Dalam momen yang sangat luar biasa, Nabi Muhammad SAW mengimami para nabi dalam salat---sebuah simbol dari kepemimpinan spiritual yang kini berada di tangan beliau.
Namun itu baru permulaan. Setelah salat, Jibril mengajak beliau menuju langit yang lebih tinggi, menuju Mi'raj. Setiap lapisan langit dilalui, dan Nabi bertemu dengan berbagai malaikat, nabi, dan makhluk yang tidak pernah beliau bayangkan.
Di langit pertama, Nabi bertemu Nabi Adam yang menyambut beliau dengan penuh kebanggaan. Di langit berikutnya, Nabi Isa dan Yahya menyapa beliau dengan salam, hingga akhirnya beliau mencapai Sidratul Muntaha---puncak tertinggi yang bisa dicapai makhluk.
Namun, di hadapan keagungan Tuhan, Nabi Muhammad merasa kecil. Dalam hatinya, muncul pergulatan batin: "Bagaimana mungkin aku, seorang manusia biasa, dipilih untuk menerima kehormatan ini?"
Perasaan takut dan harapan bercampur, namun beliau melangkah maju. Ketika Jibril berhenti dan berkata, "Aku tidak dapat melangkah lebih jauh, hanya engkau yang diizinkan melangkah," Nabi SAW dengan penuh keberanian melangkah menuju kehadiran Allah.
Di hadapan Allah, dalam keheningan yang sangat dalam, Nabi Muhammad menerima perintah yang akan menjadi tonggak penting bagi umat manusia: shalat lima waktu. Perjalanan spiritual ini menguji keteguhan hati Nabi. Tetapi, dalam perjalanan pulang, Nabi bertemu dengan Nabi Musa, yang dengan penuh kasih berkata, "Shalat lima puluh waktu itu terlalu berat bagi umatmu, mintalah keringanan."
Dengan penuh kebijaksanaan, Nabi Muhammad kembali menghadap Allah, dan dengan kasih sayang-Nya, perintah tersebut dikurangi menjadi lima waktu. Namun, Nabi Muhammad menolak untuk meminta keringanan lebih. "Aku tidak akan kembali lagi, aku malu untuk memohon lebih dari ini. Umatku akan menjalankan lima waktu ini dengan penuh keimanan," ujarnya dengan tegas.
Setelah kembali ke dunia, Nabi Muhammad sadar bahwa perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik---ini adalah perjalanan spiritual yang menguji keyakinan dan kekuatan hati. Setiap langkah beliau, setiap interaksi dengan para nabi, semakin mendalamkan pemahaman beliau tentang beratnya tugas sebagai utusan Allah.
Ketika beliau menceritakan pengalamannya kepada orang-orang Makkah, sebagian besar tidak percaya. Mereka meragukan kejadian yang begitu luar biasa. Namun, Abu Bakar, sahabat setia beliau, berkata dengan penuh keyakinan, "Jika Muhammad mengatakan ini, maka aku mempercayainya."
Isra' Mi'raj bukan hanya ujian bagi Nabi Muhammad, tetapi juga ujian bagi iman umatnya. Keajaiban yang melibatkan campur tangan langsung Tuhan seringkali tak bisa diterima oleh logika manusia, namun bagi mereka yang beriman, itu adalah bukti nyata dari kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas.
Pada akhirnya, perjalanan malam itu bukan sekadar perjalanan fisik dari Makkah ke Yerusalem, atau dari bumi ke langit, melainkan perjalanan untuk meneguhkan iman umat manusia, mengingatkan mereka akan keagungan Tuhan, dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan yang akan datang. Di setiap langkah, Tuhan selalu menyertai, memberi cahaya dalam kegelapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H