OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu, 16 Oktober 1945, Jakarta diliputi oleh ketegangan yang hampir terasa nyata.
Hujan rintik-rintik menambah suasana muram, seolah langit pun turut menahan napas, menanti keputusan penting yang akan tercatat dalam sejarah. Di sebuah ruangan kecil, di tengah gedung yang sederhana, Mohammad Hatta berdiri tegak, di kelilingi oleh tokoh-tokoh pejuang yang wajahnya penuh tekad dan keberanian.
"Maklumat ini bukan hanya tentang sebuah keputusan, tetapi tentang masa depan negara kita yang baru lahir," kata Hatta, suaranya bergetar tegas, tetapi penuh kebijaksanaan. "Tanpa parlemen, kemerdekaan ini hanya akan menjadi sebuah simbol kosong. Kita harus memberi arah, kita harus memberi bentuk."
Para anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) duduk melingkar. Mereka tahu, keputusan ini akan mengubah banyak hal. Ketika dunia luar masih bergolak, Indonesia harus memiliki kekuatan politik yang kokoh. Dan di sinilah, mereka melahirkan cikal bakal sebuah parlemen. Maklumat Wakil Presiden No. X disahkan: KNIP diberi kekuasaan legislatif sementara.
Sidang-sidang KNIP pun mulai berpindah-pindah, mengikuti arus peperangan yang tak kunjung reda. Jakarta menjadi saksi bisu ketegangan yang semakin meningkat. Setiap kali ledakan terdengar, ruang sidang terasa semakin sempit, semakin mencekam. Namun, semangat itu tak pernah padam. Mereka berpindah ke Yogyakarta, kota yang kokoh bertahan, seperti hati perjuangan itu sendiri.
Di gedung yang kini dikenal sebagai DPRD DIY di Malioboro, suasana terasa berbeda. Lampu minyak yang redup menerangi wajah-wajah para pejuang, membiarkan setiap kerut di wajah mereka terlihat jelas. Chairul Saleh berdiri di depan meja panjang, dengan mata penuh semangat. "Kita bukan hanya berperang dengan senjata, kita berperang dengan kata-kata, dengan tekad, untuk membangun masa depan bangsa!"
Di tengah riuhnya diskusi, seorang tokoh muda bernama Surya, yang berasal dari desa terpencil, berdiri dengan wajah serius. Di tangannya, terdapat draf undang-undang tentang agraria. "Tanah adalah nyawa rakyat kita. Jika kita tidak memberikan perlindungan yang adil, maka kemerdekaan ini hanya akan menjadi milik segelintir orang," katanya dengan suara yang bergetar.
Ruangan itu sejenak terdiam. Setiap orang merenung, meresapi kata-kata Surya yang tajam dan penuh makna. Surya, dengan segala keterbatasannya, telah memberi sudut pandang baru yang membawa banyak perubahan dalam sidang itu.
Ketika agresi militer Belanda semakin menggila, KNIP pindah ke Malang, tempat yang lebih jauh dari jangkauan serangan. Di sebuah gedung yang sederhana, mereka terus bekerja, meski ancaman dari luar semakin dekat. Tak jarang, mereka harus bersembunyi ketika pesawat tempur melintas di atas kepala. Namun, meskipun dalam keterbatasan, semangat mereka tak pernah surut.
Mereka merancang undang-undang yang akan menjadi dasar bagi negara yang baru saja lahir. Setiap kata yang mereka tulis, setiap keputusan yang mereka buat, adalah buah dari perjuangan yang tak kenal lelah.
Tujuh puluh sembilan tahun berlalu, gedung-gedung di Jakarta dan Malang kini hanya tinggal kenangan. Namun, gedung di Malioboro, tempat mereka pertama kali berjuang, tetap berdiri kokoh, menyaksikan perjalanan bangsa ini.
Seorang anak laki-laki bernama Bagas berdiri di depan gedung DPRD DIY. Ia sedang mengikuti tur sejarah bersama teman-temannya. Pandangannya terhenti pada sebuah prasasti kecil di sisi gedung yang tertulis: "Di sini, masa depan Indonesia dirancang dengan darah, air mata, dan harapan."
Bagas mengerutkan kening, berusaha memahami makna tulisan itu. "Bu, gedung ini tempat sidang KNIP dulu, ya?" tanyanya dengan suara bergetar.
Sang ibu tersenyum sambil mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Benar, Nak. Di sini, para pejuang kita duduk bersama, berdebat, merumuskan undang-undang yang menjadi dasar hidup kita sekarang. Mereka mungkin lelah, mungkin takut, tetapi mereka tidak pernah menyerah."
Bagas menatap prasasti itu lebih lama. Di dalam hatinya, muncul bayangan para tokoh besar, duduk melingkar, berkeringat di bawah cahaya minyak yang redup, berdiskusi tentang nasib bangsa yang baru merdeka. Di ruangan itu, kata-kata mereka bukan sekadar kata-kata; mereka adalah janji untuk tanah air, untuk rakyat yang menunggu kepastian.
Bagas menatap lebih lama, dan di dalam dirinya, sebuah tekad muncul. Suatu hari nanti, aku juga ingin menjadi bagian dari mereka. Membuat perubahan, memberikan yang terbaik untuk negara ini.
Angin sore menyapu dedaunan di sekitar gedung itu, seakan-akan gedung itu berbisik: "Perjuangan belum selesai. Ini adalah hanya permulaan." Dalam keheningan itu, Bagas tahu, semangat para pejuang itu masih hidup. Dan dalam setiap langkahnya, ia berjanji akan menjaga semangat itu tetap menyala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H