Di rumah, ibunya menyambut dengan senyum hangat.
"Bu, sungainya kenapa?" tanya Doni setelah salam-salaman.
"Itu karena limbah pabrik," jawab ibunya singkat. "Tapi, siapa yang mau peduli? Semua orang terlalu sibuk mengejar uang."
Doni tahu ia adalah bagian dari "orang-orang itu." Pabrik yang dimaksud ternyata salah satu anak perusahaan di bawah naungan kantornya.
Doni memutuskan untuk mengunjungi kepala desa, Pak Wiryo, yang dulu sering mengajaknya memancing.
"Pak, kenapa pabrik itu dibiarkan merusak sungai?" tanya Doni tegas.
"Kamu pikir kami punya pilihan, Doni? Pabrik itu memberi pekerjaan untuk setengah penduduk desa. Kalau kami menentangnya, mereka akan memindahkan usaha ke tempat lain. Orang-orang di sini mau makan apa?"
Doni terdiam. Ia merasa terjebak dalam dilema. Sebagai direktur, ia tahu ia memiliki kuasa untuk membuat perubahan. Namun, keputusan itu akan merugikan perusahaan dan, mungkin, kariernya.
Lebaran tiba, dan Doni memutuskan untuk mengunjungi makam ayahnya. Ia duduk di dekat pusara, ditemani ibunya.
"Bu, aku bingung. Kalau aku melawan, aku akan kehilangan segalanya. Tapi kalau aku diam, aku membiarkan semua ini semakin parah."
"Doni," kata ibunya, "hidup ini seperti sungai. Kalau kamu lupa hulu, airnya akan keruh di hilir. Kembalilah ke asalmu."
Kata-kata itu menghantam Doni seperti badai. Sepulang dari makam, ia mengambil keputusan besar. Ia mengundurkan diri dari jabatannya, lalu berjuang membawa masalah pencemaran itu ke meja hukum.
Namun, perjuangan itu tidak mudah. Dalam waktu tiga bulan, Doni kehilangan harta, koneksi, dan reputasinya di dunia korporat. Ia bahkan hampir diusir dari rumah karena tidak bisa membayar cicilan.
Suatu malam, Doni duduk di tepi sungai kampungnya. Meski masih keruh, ia merasa damai. Ibunya duduk di sampingnya, memegang tangannya erat.
"Kenapa kamu memilih jalan ini, Nak?" tanya ibunya pelan.
"Karena aku ingin air ini jernih kembali, Bu. Setidaknya untuk anak-anak di masa depan."
Namun, di tengah percakapan, Doni merasa dadanya sesak. Ia terkulai di pangkuan ibunya, tak sadarkan diri. Malam itu, dokter setempat memastikan: Doni terkena serangan jantung akibat tekanan hidup yang berat.
Esoknya, air sungai itu tetap keruh, dan perjuangan Doni berakhir. Tapi di desa itu, namanya dikenang sebagai orang yang mencoba membawa air kembali ke hulunya. ***