OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit sore tahun 1945 mengalun perlahan, menyemburatkan warna jingga di atas desa kecil di Jawa. Sebuah rumah panggung sederhana berdiri di ujung desa, menjadi saksi bisu perjuangan seorang pemuda bernama Suta. Di dalam rumah itu, deretan papan tulis reyot dan kapur putih menjadi senjata Suta melawan buta aksara.
"Pak, kenapa saya harus belajar huruf?" tanya Darni, seorang anak berusia sepuluh tahun dengan mata yang berbinar.
Suta menghela napas panjang, memandangi wajah polos murid-muridnya yang penuh harapan. "Karena dengan huruf, kita bisa melawan. Huruf adalah senjata yang tak akan bisa direbut penjajah," jawabnya.
Namun, di balik semangat itu, Suta menyimpan rahasia kelam. Desa ini dikepung oleh tekanan dari para pemberontak yang menganggap pendidikan adalah alat penjajah. Malam itu, suara langkah berat terdengar mendekat.
"Pak Guru Suta!" teriak seorang pria dari luar. Suaranya keras, diiringi beberapa pria bersenjata yang membawa obor.
Suta keluar, berusaha tenang. "Ada apa, Pak Sarman?" tanyanya sopan.
"Kau tahu, mengajari huruf itu hanya akan membuat orang desa lupa tanahnya! Kau mau mereka jadi budak penjajah baru, hah?" bentak Sarman, pemimpin kelompok itu.
"Tidak, Pak Sarman. Justru dengan huruf, kita bisa merebut kembali apa yang jadi milik kita. Jika kita buta aksara, kita akan terus tertindas!" Suta berusaha menjelaskan.
"Omong kosong! Kalau kau tak berhenti, sekolah ini akan kami bakar!" ancam Sarman, meninggalkan Suta dengan ultimatum yang menggema di malam itu.
Di dalam rumah, Darni mendengar percakapan itu. Ia mendekati Suta dengan ragu.