Darni terdiam, mematung di tempatnya. Tubuh Suta terkulai di tanah, darah mengalir di sekitarnya. Murid-murid menangis, memanggil nama gurunya, tetapi Sarman dan kelompoknya sudah menghilang dalam kegelapan.
Malam itu, langit menjadi saksi bisu pengorbanan seorang guru. Esok paginya, Darni membawa sebatang kapur yang sudah hangus sebagian. Dengan tangan kecilnya, ia menulis di tanah: "Huruf adalah cahaya."
Di ladang itu, cahaya pengetahuan tetap menyala. Suta telah pergi, tetapi semangatnya hidup dalam huruf yang diajarkan kepada anak-anak desa itu.
 Tujuh puluh tahun kemudian, pada sebuah peringatan Hari Pendidikan Nasional, nama Suta dikenang sebagai simbol perjuangan. Di depan monumen sederhana di desanya, seorang pria tua membaca pelan kata-kata yang terpahat di batu:
"Huruf adalah senjata. Cahaya adalah masa depan. Merdeka adalah hak semua anak bangsa."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H