"Pak, kalau mereka membakar sekolah ini, kita belajar di mana?" tanya Darni dengan suara gemetar.
"Kita akan belajar di mana saja, Darni. Di bawah pohon, di ladang, bahkan di tengah hujan. Yang penting, cahaya pengetahuan tetap menyala," jawab Suta sambil memegang pundak Darni.
"Tapi, Pak, kenapa Bapak berani mengambil risiko ini?"
Suta tersenyum tipis. "Karena kemerdekaan bukan sekadar teriakan merdeka. Ia adalah perjuangan melawan kegelapan, dan huruf adalah lentera kita."
Tiga hari kemudian, ancaman Sarman terbukti. Sekolah kecil itu terbakar habis. Asap hitam membubung tinggi, membawa isak tangis anak-anak yang kehilangan tempat belajar mereka.
Namun, Suta tak menyerah. Ia memutuskan untuk menggelar kelas di ladang kosong. Malam itu, ia duduk di bawah cahaya bulan, mengajari huruf kepada Darni dan teman-temannya.
"Tulis ini, 'Merdeka.' Huruf M, E, R..." kata Suta.
Namun, suara langkah mendadak terdengar di belakang mereka. Sarman dan kelompoknya datang lagi, kali ini dengan senjata di tangan.
"Kau keras kepala sekali, Suta," kata Sarman dengan suara dingin.
"Aku hanya ingin anak-anak ini punya masa depan," jawab Suta, berdiri di depan murid-muridnya.
"Tapi masa depan itu bukan untukmu," kata Sarman. Dalam hitungan detik, suara letusan terdengar.