Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Garudaku di Dadaku

19 November 2024   00:18 Diperbarui: 19 November 2024   00:35 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Dika berdiri di tengah lapangan bola, dikelilingi oleh sorakan anak-anak yang penuh semangat.

"Garuda di dadaku, Garuda kebanggaanku, Kuyakin hari ini pasti menang!" Mereka menyanyikan lagu itu seolah-olah seluruh dunia hanya berputar di sekitar kemenangan dan kebanggaan bangsa.

Tapi Dika merasa sesak. Suara mereka bergaung di telinganya, namun di hatinya, ada kegelisahan yang semakin besar. "Garuda di dadaku... tapi tanah kita sedang terluka." Begitu pikirnya.

Kakeknya pernah berkata, "Nasionalisme itu bukan sekadar kata-kata. Itu adalah darah yang mengalir, itu adalah hati yang berjuang." Tapi Dika mulai merasakan bahwa segala yang dia dengar---bendera, lagu, seruan itu---tak lebih dari sebuah bayangan kosong.

Di kedai kopi, ia duduk bersama Rian, temannya yang baru pulang dari luar negeri. "Bro, teknologi di sana maju pesat, kita masih tertinggal jauh," ujar Rian sambil memandang layar ponselnya. "Coba lihat, semua serba canggih, kita harus ikut arus!"

Dika memandangi Rian, matanya terfokus tajam. "Arus? Atau cuma ilusi yang kita kejar? Kita berpikir dengan ikut mereka, kita bisa maju. Tapi apa harga yang harus kita bayar?" Dika menjawab dengan suara datar. "Kita mengorbankan identitas kita, harga diri kita, dan tanah ini hanya untuk sebuah kemajuan semu."

Rian terdiam. Ia tahu Dika berbeda, lebih keras kepala, lebih gelisah dengan kenyataan yang ada. Tapi dia hanya tersenyum, seolah semuanya sudah jelas. "Bro, yang penting kita maju. Negara ini nggak akan bertahan kalau kita terus terjebak dalam masa lalu."

Dika merasa seperti dipukul di kepala. Ia mengalihkan pandangannya ke layar ponselnya. Berita terkini menghantam hatinya: "Pemerintah Menyetujui Penjualan Kekayaan Alam untuk Investasi Asing."

Dada Dika sesak. Itu bukan hanya berita biasa. Itu adalah pengkhianatan terhadap segala yang selama ini ia percayai. Tanah yang mereka cintai, sumber daya alam yang seharusnya bisa menjamin masa depan, kini dijual begitu saja. Semua untuk "kemajuan," tetapi harga kemajuan itu adalah kehilangan segalanya.

Dika berlari keluar dari kedai. Ia menuju lapangan bola tempat anak-anak tadi bermain. Mereka masih menyanyikan lagu dengan penuh semangat. Tapi kali ini, Dika merasakan setiap kata itu seperti duri yang menusuk hatinya. "Garuda di dadaku...!" Ia berteriak pelan, hampir tak terdengar.

Ia melangkah maju, menatap bendera yang berkibar di kejauhan. Tiba-tiba, segala kebanggaan itu terasa begitu hampa. Apa arti nasionalisme jika tanah ini dijual? Apa arti Garuda di dadaku jika kita tidak mampu melindungi apa yang telah diwariskan para pahlawan?

Di sana, di bawah bendera itu, Dika merasakan patah yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. Semua idealisme yang ia bawa terjun bebas, tenggelam dalam lautan kenyataan yang pahit.

Dengan tangan gemetar, ia mengecek ponselnya. Pesan singkat dari ibunya muncul: "Dika, Ayah sudah tidak ada. Dia pergi untuk menjaga tanah kita, meskipun akhirnya tanah itu harus dilepas."

Dika menatap layar ponselnya, air mata mulai mengalir. Ayahnya, pejuang sejati, telah pergi, meninggalkan dunia ini dengan cita-cita yang belum sempat diwujudkan. Semua yang mereka perjuangkan, semua yang mereka percayai, kini terjual begitu saja, menjadi bagian dari sistem yang lebih besar yang mengabaikan esensi dari nasionalisme sejati.

Di tengah lapangan, dengan bendera Garuda berkibar di atasnya, Dika jatuh berlutut. Semua lagu itu terasa seperti ironi. "Garuda di dadaku..." gumamnya, tapi kali ini, tidak ada semangat, hanya kehampaan yang menyelimuti.

Kita menang? Dika bertanya pada dirinya sendiri. Tapi dalam hatinya, ia tahu, kemenangan apa yang bisa dirayakan ketika tanah ini, tanah yang kita cintai, justru terjual begitu saja?

Dika tahu satu hal sekarang---nasionalisme bukan hanya soal kebanggaan, tetapi soal apa yang kita pertahankan. Dan dia mulai meragukan apakah ada yang tersisa untuk dipertahankan.

Akhirnya, di tengah teriakan anak-anak yang masih penuh semangat, Dika menyadari bahwa kadang-kadang, cinta tanah air itu adalah luka yang paling dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun