OLEH: Khoeri Abdul Muid
Rani memandang gelas retak di tangannya. Ia baru saja melemparnya ke dinding, tetapi gelas itu hanya memantul, lalu jatuh ke lantai. Gagal pecah. Begitu juga dengan hatinya---retak, tapi tak benar-benar hancur.
"Kenapa, sih? Selalu kamu yang harus benar!" Suaranya bergetar, memecah keheningan rumah.
Doni, suaminya, duduk di kursi makan. Tangan di atas meja, tak menyentuh cangkir kopi yang tinggal separuh. "Bukan soal benar atau salah, Ran. Aku cuma enggak mau kita begini terus."
"Begini gimana?" Rani menatapnya tajam.
"Berteriak. Melempar barang. Menyakiti diri kita sendiri," jawab Doni, tenang.
Rani mendengus. "Kamu selalu bilang tenang, tapi lihat! Aku sendirian urus anak, kerja, rumah... Kamu cuma duduk, diam, bicara seolah tahu semuanya!"
Doni bangkit. Ia melangkah pelan, berhenti di hadapan istrinya. "Rani, kita ini satu tim. Aku enggak sempurna. Tapi marah seperti ini, cuma membuat kita menjauh."
"Jauh? Aku sudah merasa jauh sejak lama, Don," Rani berbisik, air mata mulai menggenang.
Doni menghela napas. Ia meraih gelas retak dari tangan Rani. "Kamu tahu? Gelas ini masih bisa dipakai meski retak. Tapi kalau dipaksakan, airnya akan bocor pelan-pelan. Itu kita, Ran. Kita retak, tapi belum pecah. Masih ada yang bisa diperbaiki."
Rani diam. Kata-kata Doni menusuk, tapi ia tak mau mengakuinya.