OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di negeri kerajaan konstitusional yang megah, Sura Dira Jayaningrat dikenal sebagai pahlawan yang tak terkalahkan.
Ketangguhannya di medan perang telah membuat namanya tersohor, dan keteguhannya pada kekuatan menjadikan dia orang yang dihormati sekaligus ditakuti. Tidak ada yang bisa menandingi kemampuannya---selama bertahun-tahun, musuh-musuhnya selalu menyerah di bawah komando gagahnya.
Namun, suatu hari, Raja memanggilnya. "Sura Dira, perang besar akan datang. Kerajaan tetangga berencana menyerang kita. Kau harus memimpin pasukan kita menuju kemenangan."
Dengan kepercayaan diri penuh, Sura Dira bersiap. Ia tahu, dengan kekuatannya, tidak ada yang bisa menghentikan langkahnya. Pasukannya siap, senjata bersinar, dan kemenangan seakan sudah ada di ujung mata.
Namun, pada malam sebelum pertempuran, Sura Dira bertemu dengan seorang wanita muda. Nirmala---pendeta yang tinggal di lembah, jauh dari hiruk-pikuk istana. Dengan tatapan tenang dan suara lembut, Nirmala berkata, "Kenapa harus ada perang, Panglima? Mengapa kekuatan yang kau andalkan, bukan kedamaian?"
Sura Dira tertawa kecil, seolah tak percaya. "Kekuasaan adalah segalanya. Tanpa itu, kerajaan kita akan hancur. Dunia ini bukan tempat bagi mereka yang lemah."
Nirmala mendekat, matanya penuh kedalaman. "Kekuatan itu memang menakutkan, Panglima. Tapi apa yang akan terjadi jika kekuatanmu menghancurkan sesuatu yang lebih berharga?"
Sura Dira terdiam. Ada keheningan yang tak biasa dalam kata-kata Nirmala. Namun, dia menepisnya. "Kasih sayang tidak bisa mengalahkan musuh di medan perang," jawabnya dengan tegas, meski di dalam hatinya ada keraguan yang mulai tumbuh.
"Kasih sayang mengalahkan semuanya, Sura Dira," kata Nirmala lembut. "Bahkan hati yang terkunci rapat sekalipun."
Malam itu, Sura Dira tidak bisa tidur. Di luar, angin berhembus kencang, seolah-olah dunia pun menantikan keputusan yang akan ia buat. Namun, pagi harinya, dia memimpin pasukannya menuju medan perang dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.
Perang pun dimulai. Pasukan Sura Dira berbaris dengan gagah, namun tiba-tiba, musuh yang dihadapi justru tidak melawan. Mereka mundur tanpa sepatah kata pun. Ketika Sura Dira tiba di gerbang kerajaan musuh, ia disambut oleh Raja yang menyerah tanpa syarat.
"Kenapa?" tanya Sura Dira, bingung dan tercengang. "Kenapa kalian tidak melawan?"
Raja itu menundukkan kepala. "Kami mendengar kabar tentang seorang wanita di lembah. Tentang kasih sayang yang dia bicarakan, tentang perdamaian yang dia tawarkan. Kami memilih untuk berdamai."
Sura Dira tertegun, wajahnya berubah. Ia tidak bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Semua yang dia percayai tentang kekuatan, tentang peperangan, tentang kemenangan, seolah runtuh dalam sekejap. Kekuatannya---yang selama ini tak tertandingi---tidak mampu melawan kedamaian yang lebih besar dari apa yang pernah ia bayangkan.
Pandangannya beralih ke tempat yang sepi, ke dalam dirinya sendiri. Dalam heningnya, dia ingat kembali kata-kata Nirmala yang terdengar semakin jelas, seperti gema yang tak pernah berhenti: Kasih sayanglah yang mengalahkan segalanya.
Hati Sura Dira yang kokoh seakan retak. Dia merasa hancur, bukan karena musuh yang tak bisa ia kalahkan, tetapi karena dia baru saja kalah dalam pertempuran terbesar---pertempuran dengan dirinya sendiri.
"Aku yang lemah..." gumamnya, matanya basah. Di sinilah kekuatan sejati diuji---bukan di medan perang, tetapi di dalam hati yang penuh keangkuhan yang harus melepaskan diri dari ketakutan akan kelemahan.
Sura Dira, sang pahlawan yang tak terkalahkan, kini tahu: bahwa ketidakgentaran, kekuatan, dan kejayaan akan luluh oleh kasih sayang. Dan di saat itu, dia merasa dirinya lebur, bukan karena kekalahan, tetapi karena penerimaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H