OLEH: Khoeri Abdul Muid
Ada satu nilai moral dalam sila dua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sebagai ideologi negara Republik Indonesia, yang penting dan mendesak kita cermati dewasa ini, yakni nilai moral: Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Antar Warga Negara Tanpa Membedakan Ras, Suku, dan Agama.
Analisis Mendalam: Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Antar Warga Negara Tanpa Membedakan Ras, Suku, dan Agama
I. Perspektif Teori
1. Teori Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan proses menyatukan perbedaan sosial dalam masyarakat sehingga tercipta kesatuan dan harmoni antarindividu atau kelompok. Dalam konteks Indonesia, teori ini menjadi relevan karena masyarakatnya terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya.
Emile Durkheim, seorang sosiolog klasik, menyatakan bahwa solidaritas dalam masyarakat terbagi dalam dua bentuk: solidaritas mekanik (tradisional) dan organik (modern). Durkheim berpendapat bahwa integrasi dalam masyarakat modern terjadi ketika orang menghargai perbedaan dan saling bergantung dalam kehidupan sosial.
Menerapkan teori ini, Indonesia dapat menciptakan masyarakat yang menghargai keberagaman namun tetap solid.
2. Teori Kontak Antar Kelompok oleh Allport
Teori kontak antar kelompok oleh Gordon Allport menyatakan bahwa interaksi langsung antara individu atau kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka dan meningkatkan rasa kebersamaan. Teori ini menekankan bahwa kontak yang positif dapat menurunkan stereotip dan meningkatkan pemahaman antar kelompok, asalkan memenuhi empat syarat: kesetaraan status, tujuan bersama, kerja sama, dan dukungan institusional.
Jika diaplikasikan di Indonesia, program lintas budaya atau kegiatan bersama antarumat beragama dan etnis dapat meningkatkan persatuan tanpa memandang perbedaan.
3. Teori Identitas Sosial
Teori identitas sosial oleh Henri Tajfel menjelaskan bahwa individu cenderung mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok sosial tertentu, yang sering kali menjadi dasar perbedaan identitas dan konflik antar kelompok. Dalam masyarakat beragam, identitas etnis, agama, atau suku sering kali menjadi landasan utama perbedaan sosial.
Untuk mengatasi ini, diperlukan penekanan pada identitas nasional bersama sebagai warga negara Indonesia yang menghargai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan cara ini, masyarakat diharapkan lebih mengedepankan kesamaan sebagai warga Indonesia, ketimbang perbedaan subidentitas yang dapat memecah belah.
4. Teori Konflik Sosial oleh Lewis Coser
Lewis Coser mengemukakan bahwa konflik sosial dalam masyarakat plural dapat terjadi akibat perbedaan kepentingan, identitas, atau nilai. Meskipun demikian, Coser juga menyoroti bahwa konflik dalam batas tertentu bisa memiliki efek positif, seperti memperkuat identitas kelompok atau meningkatkan solidaritas ketika konflik diatasi secara konstruktif. Dengan kata lain, konflik yang terkelola dengan baik melalui dialog terbuka dan komunikasi yang sehat dapat mempererat persatuan. Dalam konteks Indonesia, pendekatan dialogis dapat menjadi solusi dalam meredakan perbedaan antar etnis atau agama.
5. Teori Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah pendekatan yang menerima dan menghargai keragaman budaya, etnis, dan agama dalam masyarakat. Menurut Bhikhu Parekh, teori ini mendorong pengakuan penuh terhadap hak-hak semua kelompok untuk mempertahankan budayanya tanpa diskriminasi. Di Indonesia, penerapan multikulturalisme terlihat melalui kebijakan yang mendukung toleransi dan pluralisme. Dengan mengedepankan prinsip multikulturalisme, pemerintah dapat memperkuat persatuan tanpa mengesampingkan keunikan budaya setiap kelompok.
II. Data yang Relevan
1. Keragaman Suku, Agama, Ras, dan Golongan di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis yang sangat tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat lebih dari 1.340 suku bangsa di Indonesia. Terdapat pula enam agama yang diakui secara resmi, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dengan keberagaman ini, persatuan dan kesatuan menjadi tantangan utama untuk mencegah konflik horizontal yang dapat muncul akibat perbedaan identitas.
2. Data Toleransi Beragama
Menurut Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) dari Kementerian Agama, angka kerukunan beragama di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 73,4 dari skala 100, menunjukkan bahwa toleransi umat beragama di Indonesia cukup tinggi, tetapi masih dapat ditingkatkan. Beberapa daerah di Indonesia memiliki indeks yang lebih rendah dari rata-rata nasional, yang menunjukkan bahwa kerukunan antarumat beragama tidak merata. Perbedaan ini menunjukkan perlunya upaya lebih lanjut dalam membangun interaksi positif antar umat beragama.
3. Survei Nasional mengenai Identitas Nasional
Lembaga Survei Nasional menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mengidentifikasi diri sebagai warga negara Indonesia terlebih dahulu, baru kemudian sebagai anggota kelompok agama atau etnis tertentu. Namun, Survei Indeks Demokrasi Indonesia dari BPS mencatat bahwa ada peningkatan intoleransi di beberapa daerah terhadap minoritas etnis atau agama. Ini menunjukkan pentingnya memperkuat identitas nasional yang inklusif dan menerima keberagaman.
4. Data Konflik Sosial di Indonesia
Data dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian mengungkapkan bahwa konflik antar kelompok, terutama berbasis agama atau etnis, masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh, konflik di Maluku pada awal 2000-an menimbulkan dampak negatif bagi kerukunan antar kelompok. Namun, rekonsiliasi yang dilakukan setelah konflik berhasil memulihkan kerukunan dan mendorong pemahaman antar kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan pascakonflik penting dalam menjaga persatuan nasional.
5. Indeks Multikulturalisme
Menurut Indeks Multikulturalisme Global oleh Institut Multikulturalisme Dunia, Indonesia berada di peringkat 40 dari 82 negara dalam kategori negara yang multikultural. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki dasar multikultural yang kuat, namun masih terdapat tantangan dalam mencapai keadilan sosial dan kesetaraan bagi semua kelompok etnis dan agama.
III. Implikasi dan Kesimpulan
- Penerapan Nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pemersatu Mengedepankan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) menjadi fondasi utama dalam memperkuat persatuan. Menggunakan prinsip ini, pemerintah dan masyarakat dapat saling bekerja sama untuk mengembangkan kegiatan dan kebijakan yang mengedepankan rasa kebersamaan tanpa memandang perbedaan suku, agama, dan ras.
- Meningkatkan Program Kontak Antar Kelompok Berdasarkan teori Allport, pemerintah dan masyarakat sipil perlu mendorong kontak langsung antar kelompok melalui program sosial, budaya, atau pendidikan lintas agama dan etnis. Dengan memperbanyak interaksi positif di berbagai bidang, masyarakat akan lebih mengenal, menghormati, dan memahami perbedaan yang ada. Ini bisa dilakukan dengan memperbanyak kegiatan gotong royong, kerjasama lintas budaya, dan perayaan hari besar secara inklusif.
- Pendidikan Multikultural sebagai Sarana Memupuk Toleransi Pendidikan multikultural di sekolah dapat meningkatkan pemahaman generasi muda mengenai keberagaman budaya dan agama di Indonesia. Kementerian Pendidikan dapat memasukkan nilai-nilai toleransi, kerja sama, dan persatuan dalam kurikulum untuk mempersiapkan generasi yang lebih inklusif dan menghargai perbedaan. Pendidikan ini penting untuk menanamkan konsep identitas nasional yang inklusif dan toleran.
- Mengelola Konflik Sosial secara Konstruktif Menurut teori konflik sosial, konflik dalam batas tertentu dapat memperkuat persatuan jika ditangani dengan baik. Pemerintah dan lembaga terkait perlu mengelola konflik dengan pendekatan dialogis, di mana masing-masing kelompok dapat menyuarakan aspirasi dan mencapai solusi bersama. Hal ini dapat dilakukan melalui peran aktif pemerintah, tokoh masyarakat, dan lembaga adat dalam meredakan ketegangan antar kelompok.
- Pengakuan atas Keberagaman melalui Kebijakan Multikultural Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mengakui keberagaman sebagai modal sosial, bukan ancaman. Kebijakan ini dapat berupa perlindungan hak-hak minoritas, serta penguatan hukum yang melarang diskriminasi berdasarkan agama, suku, atau ras. Dengan kebijakan yang mendukung multikulturalisme, masyarakat akan merasa dihargai, yang dapat memperkuat persatuan nasional.
IV. Kesimpulan
Meningkatkan persatuan dan kesatuan antar warga negara Indonesia tanpa membedakan ras, suku, dan agama memerlukan upaya terintegrasi dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun tokoh-tokoh agama dan adat. Melalui implementasi teori integrasi sosial, kontak antar kelompok, dan pendekatan multikulturalisme, persatuan dapat terwujud dengan baik. Data yang ada menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki keragaman yang tinggi, toleransi dan kesadaran kolektif masyarakat untuk bersatu cukup besar. Namun, pemerintah dan masyarakat perlu terus mendorong upaya inklusif dan toleran untuk menciptakan persatuan nasional yang berkelanjutan, sejalan dengan amanat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H