Kurikulum Merdeka telah menjadi topik diskusi hangat di dunia pendidikan Indonesia.
Awalnya dirancang sebagai respons terhadap tantangan pembelajaran selama pandemi COVID-19, Kurikulum Merdeka diharapkan memberikan fleksibilitas dan penyederhanaan materi untuk mendukung proses belajar-mengajar.
Namun, seiring berakhirnya pandemi dan hasil evaluasi yang menunjukkan berbagai kendala implementasi, muncul urgensi untuk mengevaluasi kembali kebijakan ini.
1. Legalitas Kurikulum Merdeka: Polemik Nomenklatur
Penggunaan istilah "Kurikulum Merdeka" menuai kritik dari beberapa pihak, termasuk pengamat pendidikan Darmaningtyas.Â
Kritikan ini muncul karena nomenklatur "Merdeka" tidak secara eksplisit tercantum dalam Peraturan Mendikbudristek No. 12 Tahun 2024, yang menjadi dasar hukum kurikulum nasional.
Kurikulum Merdeka sejatinya adalah penyederhanaan dari Kurikulum 2013, namun label "Merdeka" dinilai tidak memiliki dasar hukum formal dan dapat dianggap sebagai kebijakan berbasis tokoh tertentu, dalam hal ini Menteri Nadiem Makarim.
Meskipun substansi Kurikulum Merdeka dianggap legal karena berakar pada Kurikulum 2013, nomenklatur yang kontroversial ini menciptakan ketidakpastian dan potensi bias politis, yang dapat menjadi hambatan bagi keberlanjutan kebijakan.
2. Evaluasi Hasil Kurikulum Merdeka: Gagal Mencapai Target
Kurikulum Merdeka diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional, termasuk capaian siswa Indonesia di tingkat internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Namun, hasil yang dicapai masih jauh dari target:
- PISA: Hasil terbaru menunjukkan stagnasi atau bahkan penurunan kemampuan siswa Indonesia dalam literasi, numerasi, dan sains.
- TIMSS: Capaian siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional.
Kegagalan ini menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan, terutama karena implementasinya di lapangan menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya kesiapan infrastruktur, pelatihan guru yang terbatas, dan ketimpangan akses antara daerah perkotaan dan pedesaan.
3. Alasan Awal Sudah Tidak Relevan: COVID-19 Telah Berakhir
Kurikulum Merdeka awalnya diperkenalkan sebagai respon darurat untuk menyederhanakan pembelajaran selama pandemi. Namun, pandemi COVID-19 telah dinyatakan selesai, sehingga alasan penyederhanaan tersebut tidak lagi relevan.
Dengan kondisi yang telah kembali normal, tidak ada hambatan untuk melanjutkan Kurikulum 2013 yang genuine, yang dirancang untuk membangun keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.
4. Mengapa Kembali ke Kurikulum 2013 Adalah Solusi Tepat
Legalitas yang Kuat: Kurikulum 2013 memiliki dasar hukum yang jelas dan telah terbukti menjadi kerangka yang sah dalam sistem pendidikan nasional.
Konsistensi Kebijakan: Kembali ke Kurikulum 2013 memberikan kepastian hukum dan mengurangi kebingungan di tingkat sekolah.
Revisi dan Penyempurnaan: Kurikulum 2013 dapat disesuaikan dengan tantangan pendidikan pasca-pandemi tanpa perlu menciptakan kurikulum baru yang membingungkan.
Stabilisasi Sistem: Menghapus label "Merdeka" menghilangkan potensi bias politis dan fokus pada substansi kebijakan pendidikan yang inklusif.
Rekomendasi
Penghapusan Kurikulum Merdeka: Pemerintah perlu menghapus nomenklatur "Kurikulum Merdeka" dan kembali ke Kurikulum 2013 yang genuine.
Evaluasi dan Penyempurnaan: Lakukan revisi terhadap Kurikulum 2013 untuk meningkatkan fleksibilitas dan relevansi dengan kebutuhan pendidikan modern.
Peningkatan Kapasitas Guru: Fokus pada pelatihan guru dan penyediaan infrastruktur untuk mendukung penerapan Kurikulum 2013 yang lebih efektif.
Fokus pada Capaian Internasional: Tetapkan strategi jangka panjang untuk memperbaiki peringkat Indonesia dalam PISA dan TIMSS melalui pendekatan yang sistematis dan terukur.
Kesimpulan Akhir
Kurikulum Merdeka, yang awalnya dirancang untuk menghadapi kondisi darurat selama pandemi, telah kehilangan relevansinya.
Dengan hasil evaluasi yang menunjukkan kegagalan mencapai target internasional, serta alasan hukum dan politis yang tidak mendukung nomenklaturnya, langkah yang paling logis adalah mengembalikan fokus pada Kurikulum 2013.
Kurikulum ini memiliki landasan hukum yang kuat, substansi yang jelas, dan potensi untuk dikembangkan lebih lanjut sesuai kebutuhan pendidikan masa kini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI