Dengan enggan, Ryu mengetik. Satu kalimat muncul di layar, lalu dua, lalu sebuah paragraf.
"Rasanya?" tanya Yuna.
"Sedikit lega."
"Bagus. Tapi kita pakai kaizen juga," kata Yuna sambil menyengir. "Perbaikan kecil dan konsisten. Besok tambahkan lagi, satu paragraf, satu ide. Prinsip ini kalau diterapkan setiap hari, hasil akhirnya bisa mengejutkan."
Ryu mengangguk pelan, ritmenya mulai terbentuk.
"Dan ingat, prinsip hara hachi bu. Jangan habiskan semua energimu sekarang. Itu seperti cara orang Okinawa makan: berhenti di 80% kenyang. Sisakan energi untuk besok."
Malam itu, Ryu menyelesaikan dua bab laporan. Dia bahkan merasa optimis untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan.
Seminggu kemudian, Yuna membuka ponselnya dan membaca pesan singkat dari Ryu:
"Terima kasih sudah ngajarin aku ikigai, kaizen, dan lainnya. Aku sempat merasa lebih baik. Tapi kayaknya kali ini aku benar-benar gagal. Maaf kalau aku mengecewakan kamu."
Darah Yuna berdesir. Dia langsung menelepon Ryu, tapi hanya suara operator yang menjawab.
Dengan rasa panik, dia bergegas ke kantor Ryu. Ruangan itu sepi, hanya ada suara dentingan jam dinding. Di meja Ryu, laptopnya masih menyala, file laporannya sudah hampir selesai. Tapi Ryu... terkulai di kursinya, napasnya tipis.