OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pohon lemon itu berdiri anggun di sudut halaman, daunnya yang hijau segar bergoyang lembut ditiup angin sore. Di sebelahnya, pohon kelor menjulang, daunnya kecil-kecil tapi penuh manfaat. Rumah tua itu, dengan dinding kusam yang mulai lapuk, menjadi saksi bisu cerita panjang penghuni dan tanduran-tanduran di sekitarnya.
Lena menatap pohon-pohon itu dengan mata berkaca-kaca. Ia bukan orang yang mudah larut dalam nostalgia, tapi sore itu ada perasaan aneh yang menggelayuti dadanya. Rumah ini---dan segala tandurannya---akan segera ditinggalkan. Sebuah proyek besar bernama Blonde von Estu Vrederburg telah memaksa keluarganya untuk menjual tanah warisan.
"Aku gak ngerti, Bu. Kenapa kita harus pindah? Pohon-pohon ini hidup kita," keluh Lena pada ibunya.
Ibu Lena mendesah pelan sambil mengelus daun salam yang selalu ia gunakan untuk memasak. "Kadang, kita gak bisa memilih, Nak. Ini bukan cuma soal rumah, tapi tentang bertahan hidup. Ayahmu sudah setuju. Rumah ini mungkin gak besar, tapi utang kita lebih besar."
Lena terdiam. Ia tahu ucapan ibunya benar. Meski demikian, sulit baginya membayangkan hidup tanpa pohon pandan yang harum, bunga combrang yang belum sempat mekar, atau daun gedi yang jadi andalan racikan bubur Manado favorit keluarga.
Namun, di luar bayangan Lena, ada rencana lain. Malam itu, ayah Lena yang jarang bicara mulai membungkus beberapa tanaman dalam karung goni.
"Aku mau bawa ini ke tempat baru," katanya pendek.
Lena terkejut. "Tapi, Pak, gak semua tanaman bisa tumbuh di sana. Kita pindah ke dataran rendah, gak kayak di sini."
"Kalau memang gak bisa tumbuh, ya biar kita ingat perjuangan mereka. Tapi kalau bisa tumbuh, itu hadiah." Ayah Lena berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Tanaman ini keluarga kita juga."
Kata-kata itu menusuk hati Lena. Ia jadi merasa bodoh karena terlalu sibuk meratapi kepergian tanpa memikirkan kemungkinan membawa kenangan itu ke tempat baru.