***
Beberapa bulan kemudian, Lena duduk di teras rumah barunya, sebuah rumah kecil di desa transmigrasi. Meski sederhana, halaman rumah itu penuh tanaman yang pernah tumbuh di rumah lamanya. Lemon, kelor, pegagan, dan bahkan bunga combrang sudah mulai beradaptasi dengan tanah baru.
Tapi hari itu, Lena tiba-tiba teringat sesuatu yang selama ini terpendam. Ia mengambil foto-foto tanduran yang ia ambil sebelum mereka pindah. Di sana ada pohon ketela rambat dan daun pandan, tapi tidak ada pohon salam.
"Ibu, pohon salam kita mana? Kok gak dibawa?" Lena bertanya pada ibunya yang sedang menyiram tanaman.
Ibunya mengerutkan kening. "Ibu kira Ayah bawa. Tapi ternyata enggak?"
Ayah Lena yang mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum tipis dari jauh. "Pohon salam itu... aku tinggalkan di rumah lama. Biar mereka tahu kita pernah ada di sana. Biar kenangan kita tetap hidup di tempat itu, meski kita udah gak di sana."
Lena membatu mendengar jawabannya. Ada keheningan yang aneh meliputi mereka, seakan mereka mendengar suara pohon-pohon di rumah lama yang berbisik, menyampaikan perpisahan.
Dan di tengah kesunyian itu, Lena merasa sesuatu yang aneh merambati tubuhnya. Sebuah rasa kehilangan mendalam yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rumah lama mereka kini hanya tinggal cerita, tapi pohon salam itu akan tetap berdiri, menjadi saksi bagi mereka yang datang dan pergi.
***
Bertahun-tahun kemudian, Lena kembali ke tanah kelahirannya. Proyek besar itu telah merubah seluruh wilayah menjadi pusat perbelanjaan mewah. Di tengah gedung-gedung tinggi dan jalan beraspal, Lena melihat sebuah keajaiban kecil---sebatang pohon salam tumbuh liar di sudut taman kompleks.
Ia mendekat dan merasakan aroma familiar dari daun-daunnya. Tapi di bawah pohon itu, ada sesuatu yang lebih mengejutkan. Sebuah ukiran di batangnya berbunyi: