OLEH: Khoeri Abdul Muid
Langit Chiang Mai sore itu tampak kelabu, seakan menyimpan pertanda.
Desa gajah yang kami kunjungi penuh dengan orang yang berdecak kagum, menonton para gajah yang menunjukkan kebolehannya. Di tepi arena, aku berdiri dengan penuh antusiasme, sementara di sampingku Dr. Maya, pembimbing sekaligus dosen yang terkenal ketat, menatapku dengan pandangan khawatir.
"Amira, jangan terlalu dekat. Gajah itu, sebesar apa pun jinaknya, tetaplah hewan liar," katanya tegas.
Aku hanya tertawa kecil. "Ayolah, Prof! Hidup itu harus penuh petualangan, kan?"
Mendengar jawabanku, wajahnya menegang. Ini bukan kali pertama kami berbeda pendapat. Sejak awal, aku sering merasa terkekang oleh aturan-aturannya yang ketat dan selalu ingin mendikte segala langkahku.
Aku melangkah lebih dekat ke arah gajah yang sedang bermain dengan belalainya. Tiba-tiba, gajah itu mengayunkan belalainya kuat ke arahku, nyaris mengenai wajahku. Aku terjatuh, tubuhku bergeser dari tempat semula.
"Lihat! Aku sudah bilang!" Dr. Maya berseru marah. "Kamu bisa saja terluka! Kamu keras kepala, Amira!"
Wajahku memerah, antara malu dan kesal. "Ini cuma masalah kecil! Prof selalu membesar-besarkan segalanya. Saya bisa menjaga diri!"
Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Dr. Maya semakin renggang. Di kelas, ia semakin keras mengkritik setiap tugas yang kukerjakan. Aku sering mendapati tugas-tugasku dikembalikan penuh coretan, dengan komentar pedas yang menampar harga diriku. Tidak jarang, aku mendengar ia bicara pada rekan dosen lain, membahas kecerobohanku, seolah seluruh dunia harus tahu kekuranganku.