OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Kamu punya cerita apa tentang Yogya?"
Pertanyaan itu bergaung di antara kami, di tengah warung kopi kecil pinggir Malioboro yang mulai senyap.
Malam makin larut, dan orang-orang sudah mulai beranjak pulang. Tapi aku dan Eza belum siap berpisah dengan cerita.
Eza menghela napas panjang, lalu menatap langit-langit warung yang remang. "Aku? Cerita tentang Yogya? Hmm... kayaknya aku lebih banyak yang preet-nya, deh," katanya setengah tertawa, tapi matanya tetap sendu.
Aku tertawa kecil, menggoda, "Lho, kenapa preet? Bukannya kamu dulu bilang Yogya kota kenangan manis?"
Dia tersenyum getir. "Iya, dulu. Dulu banget. Tapi kan, kadang kenangan bisa berubah maknanya."
Aku tahu betul ke mana arah pembicaraan ini. Yogya baginya bukan sekadar tempat. Di sini, dia bertemu cinta pertamanya, dan di sini juga cinta itu pergi tanpa perpisahan yang layak.
"Dulu aku ke sini... buat dia." Eza memulai ceritanya dengan suara yang hampir berbisik. "Kita ketemu di festival seni dua tahun lalu. Dia dari kota kecil di Jawa Timur, aku di Jakarta. Tapi di Yogya, kita merasa terhubung. Kamu tahu, perasaan yang... kayaknya cuma ada sekali seumur hidup?"
Aku mengangguk, meski dalam hati, aku merasakan nyeri yang asing.