"Ya, mungkin," jawab Eza. "Tapi... kapan sih berdamainya?" Ada jeda panjang sebelum dia melanjutkan, "Aku selalu berpikir... kalau aku harus mengunjungi tempat-tempat itu, tempat kita pernah bahagia. Mungkin suatu hari aku akan bisa merasakan tawa lagi di sana. Tapi setiap kali mencoba, aku malah makin terluka."
Aku mendekatkan kursi, menepuk bahunya. "Mungkin bukan di tempat-tempat itu, Za. Mungkin berdamai dimulai dari sini." Aku menunjuk dadanya.
Dia mengangguk, meski aku tahu itu tak mudah. "Kamu tahu, aku mulai paham kenapa kamu selalu bilang Yogya buatmu itu yes sekaligus preet. Kamu bisa ketawa di sini, tapi ada kenangan pahit yang nggak mungkin hilang."
Aku tersenyum kecil. "Yogya, Za... bukan soal manis atau pahitnya. Dia cuma kota. Kita yang memberi warna di setiap kenangan itu."
Malam makin larut. Yogya, dengan segala cahayanya yang temaram, seakan mendengarkan obrolan kami. Kami terdiam, tapi dalam kesunyian itu, seolah ada kata-kata tak terucap yang tersimpan. Mungkin benar kata Jokpin: Yogya, kota yang selalu meluruhkan rindu di dada, meski kadang rindu itu tak berbalas apa-apa.
Di antara kami, ada perasaan yang menggantung, yang tak pernah tuntas terucap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H