"Aku pikir Yogya ini saksi awal cerita kita. Dari Alun-Alun Selatan sampai kafe-kafe kecil di Sagan, semua sudut kota ini kayaknya penuh tawa kita. Penuh harapan."
"Tapi...?" Aku menyela pelan, setengah takut mendengar jawabannya.
Dia menarik napas, seolah berusaha mengatasi sesuatu. "Tapi waktu kuliah selesai, semuanya... hilang. Dia harus balik ke kotanya. Dan aku harus bertahan di sini, di Yogya. Kita janji buat tetap berjuang, tapi ternyata... nggak seindah itu."
"Dia ninggalin kamu gitu aja?" tanyaku.
"Kurang lebih begitu," Eza menjawab lirih. "Awalnya masih kontak, masih janji ketemu kalau ada waktu luang. Tapi... lama-lama pesannya makin singkat, makin jarang. Sampai akhirnya... ya hilang aja. Satu per satu, perasaan itu memudar, tanpa penjelasan."
Aku merasakan dadaku mengencang. Di balik cangkir kopi, aku menatap Eza yang mencoba tersenyum, tapi ada luka yang terlalu nyata di matanya.
"Aku pikir aku bisa bertahan di sini tanpa dia," lanjutnya. "Tapi Yogya terlalu banyak mengingatkan. Setiap sudut kota ini jadi saksi bisu... dan itu nyakitin, tahu?"
"Hmm... jadi menurutmu, Yogya ini kota yang nyakitin?"
Dia tertawa kecil. "Gimana ya... Kadang iya, kadang nggak. Mungkin tergantung cerita yang kita bawa."
Aku mendengar ucapan Eza seperti sajak dari Jokpin yang pernah kukenal: "Yogya bagi yang datang, sepotong puisi. Bagi yang ditinggalkan, pecahan mimpi."
"Tapi... Yogya nggak salah, Za," aku berkata pelan. "Kadang kita cuma perlu belajar berdamai. Mungkin bukan sama Yogyanya, tapi sama kenangan kita di sini."