"Eh, kenapa diem? Notifikasi apa sih?" Rina mengintip ponselku. "Wow, kreator yang naik daun! Keren lho! Akhirnya, orang-orang ngeliat kamu lagi!"
Aku tersenyum masam. "Iya, tapi... rasanya kayak telat aja. Waktu aku masih mengejar semua ini, semuanya malah hilang. Sekarang... ya udah biasa aja."
Rina memandangku dengan ekspresi bingung, "Biasa aja? Ini, kan, kesempatan! Eh, kamu nggak ada niat dapetin akun yang lama lagi? Mungkin ada jalan lain?"
Aku menggeleng, "Udah coba, tapi... rasanya mustahil."
Namun, dalam perjalanan pulang malam itu, aku teringat ucapan Rina. Ada dorongan dalam hatiku untuk mencoba sekali lagi. Dengan cemas, aku mulai membuka email lama, mencari cara mengakses kembali akun lamaku yang sudah bertahun-tahun terkunci.
Satu jam berlalu. Tak ada hasil. Kuingat semua kenangan yang tersimpan di sana: momen bersama seseorang yang dulu dekat, perjalanan pertama yang kurekam, ucapan selamat ulang tahun dari teman-teman yang kini hanya samar dalam ingatan.
Tiba-tiba, pesan masuk di emailku. "Kami menemukan beberapa cara untuk memulihkan akun Anda." Aku takjub dan buru-buru mengikutinya, langkah demi langkah.
Dan akhirnya, aku berhasil masuk.
Hal pertama yang kulihat adalah sebuah pesan tak terbaca dari seseorang yang dulu amat berarti. Pesan itu bertanggal beberapa hari setelah akun itu terkunci.
"Jika suatu hari kamu menemukan pesan ini, aku ingin kamu tahu, aku minta maaf. Aku nggak pernah sempat bilang kalau aku berhutang maaf padamu..."
Air mataku jatuh. Aku tak pernah tahu, tak pernah menduga ada penyesalan yang terpendam di balik layar ini, yang tersimpan rapat selama bertahun-tahun. Aku mencoba membaca lebih lanjut, tapi pesan itu berhenti di sana, tak ada lanjutan. Sebuah perasaan pahit menggenang. Pengakuan sebagai "kreator yang naik daun" kini tampak tak berarti di hadapan pengakuan yang paling kuharapkan, yang tak akan pernah kudengar secara langsung.