Di tengah suapan terakhirnya, pikiran Soekarno melayang jauh. Ia sadar, tanggung jawab yang baru saja diberikan kepadanya tak ringan. Perut yang lapar hari ini mungkin masih bisa ditahan, tapi perut jutaan rakyat yang lapar, haruskah dibiarkan?
Kilatan lampu kamera mendadak menyambar, membawanya kembali ke masa kini. Soekarno berdiri, menyeka keringat dari keningnya, menatap pedagang sate dengan tatapan tulus.
"Pak, terima kasih untuk sate ayamnya," ucap Soekarno sambil merogoh sakunya.
Namun, pedagang itu menahan tangannya. "Tuan, jangan dibayar. Hari ini saya beri gratis, sebagai ucapan selamat kepada Presiden kita."
Soekarno mengangguk, senyumnya menyiratkan rasa haru. Tak ada banyak kata yang diucapkan. Malam itu, di bawah langit yang mulai gelap, Soekarno berjalan kembali, membawa cita-cita dan rasa syukur. Ia tahu, jalannya panjang dan terjal, tapi bersama rakyat yang ikhlas, apa pun bisa diraih.
Di sudut jalan itu, hanya tersisa kenangan. 79 tahun telah berlalu, namun kisah sederhana itu terus hidup, mengingatkan bahwa kekuasaan bukan soal kemewahan, tapi soal pengorbanan dan ketulusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H